Tamu

2.5K 271 5
                                    

Sesampainya di rumah, Mytha tidak menceritakan apa pun soal Teh Siti di warung tadi. Ia memilih untuk bercerita keesokan harinya, ketika Jawad sedang duduk di ruang tengah dan keadaan sedang sepi. Mytha pun langsung menghampiri Jawad, menceritakan kejadian kemarin dan bertanya lebih jauh soal Pak Yanto.

"Dari dulu kalau lebaran emang yang rumah sebelah suka dateng ke Pak Aki. Bapak-bapak yang selalu pake baju hitam-hitam. Tapi anehnya téh selalu sendiri," kata Jawad setelah mendengar cerita Mytha. "Kayak yang gak punya keluarga."

"Dari kamu kecil dia udah ada rumah itu?" tanya Mytha.

"Udah," jawab Jawad singkat. Jawad menerawang jauh, didapatinya memori soal sosok Pak Yanto yang jarang sekali terlihat. Jawad pun bisa menghitung dengan jari kapan saja melihat Pak Yanto, itu pun hanya datang kepada Pak Aki ketika lebaran--sudah dipastikan mereka berhubungan baik.

Jawad dan Mytha lanjut mengobrol lebih dalam. Ternyata, setelah ditelusuri, Pak Yanto memang terkenal sebagai orang yang ditakuti karena perilakunya. Tapi entah perilaku semacam apa. Dan perihal pemakamannya yang mengundang sedikit peristiwa, Jawad dan Mytha tidak mau menebak-nebak. Soal kematiannya, itu urusan Pak Yanto dengan Tuhan saja.

"Kamu ngerasa gak semenjak Almarhum wafat jadi banyak kejadian mistis dan sekitar kita jadi sepi banget," ujar Mytha.

Jawad ikut berpikir sembari menatap jam dinding di ruang tengah. Masih jam 1 siang. Lalu kepalanya refleks menoleh ke suara-suara gaduh dari luar rumah.

"Siapa Yang?" Mytha mencondongkan tubuhnya, mencoba melihat suasana di luar melalui jendela. Tampak ada beberapa orang dekat halaman rumah Pak Aki. Seperti hendak bertamu ke rumah sebelah. Di tangan mereka terlihat berbagai macam bingkisan dalam tas. Mytha mendorong punggung Jawad, memintanya untuk memeriksa siapa mereka. Tetapi, baru saja Jawad hendak melangkah, Zahra mengintip dari balik pintu kamar tamu.

"Psst!" Zahra berdesis memanggil keduanya. Mytha dan Jawad menoleh. Tangan Zahra menyuruh mereka mendekat, sorot matanya waspada.

"Apa?" tanya Mytha, masih di tempat.

"Psst! Psst!" Zahra terus memanggil mereka.

"Apa atuh psst psst téh? Bisa ngomong gak?" tanya Jawad.

"Sssst!" Zahra mengernyit gemas.

"Tuh sekarang malah sut sutan!" Jawad bingung.

"Ck!" decak Zahra. "Itu matiin TVnya!" perintah Zahra tanpa suara, tangannya menunjuk-nunjuk TV yang masih menyala. Jawad pun menurut tanpa bertanya lebih jauh. Ia pun berlari menghampiri mereka berdua dan menariknya dari ruang tengah menuju kamar tamu. Jawad dan Mytha saling lirik, perilaku Zahra seperti orang yang sedang menghindari sesuatu.

"Apa sih?" Mytha bertanya setelah sampai di kamar tamu, Zahra menutup pintu. Di dalam kamar, terlihat Nafisa yang sedang tidur siang. Mytha mengira, Zahra tidak ingin Jawad terlalu berisik berbincang karena takut membangunkannya. Namun, nyatanya Zahra terus menoleh khawatir ke luar jendela kamar, dimana orang-orang terlihat berkerumun.

"Zahra daritadi tidur terus kebangun gara-gara kedengeran suara rame di balik jendela," bisik Zahra, menunjuk jendela kecil di atas dinding.

Mytha melirik sekilas jendela tersebut. "Ya mungkin itu keluarga Almarhum mau beresin rumah atau apa." Mytha berasumsi.

Zahra menggeleng cepat. "Bukan bukan! Kayak orang lagi baca mantra--"

"Mantra?" potong Jawad. "Mana ada mantra-mantraan zaman sekarang."

"Gak tahu apa! Coba denger deh!" Zahra mendekati sisi kamar yang menempel langsung ke rumah di sebelah, tepatnya di bawah jendela. Zahra meminta Jawad dan Mytha untuk menempelkan telinga mereka di dinding. Mereka pun menurut.

Sayup-sayup terdengar lelaki menggumamkan sesuatu. Gumaman yang tak jelas. Seperti melafalkan bahasa asing yang tak dimengerti. Lama kelamaan, suaranya meninggi dan semakin cepat. Gumaman itu berubah menjadi rintihan, diiringi wangi bunga yang menyeruak.

Seseorang di dalam sana mulai terisak-isak. Orang-orang yang sedari tadi berada di teras kini berhamburan masuk. Rumah Pak Yanto menjadi ramai seketika. Terdengar wanita yang mengucapkan sesuatu dengan panik. Begitupun dengan yang lainnya yang beramai-ramai mengatakan hal yang sama. Entah apa, tak terlalu jelas. Mereka semua membuat kegaduhan.

Zahra melotot tatkala telinganya menangkap suara gelas yang pecah. Mereka berteriak-teriak di dalam sana, seperti sedang dalam masalah. Lelaki yang bergumam tadi tiba-tiba histeris dan berteriak serak.

Mytha membalikkan badan dan menghampiri Nafisa yang sudah bergerak untuk bangun. Tangannya melingkar di seluruh badan Nafisa, agar anak itu tidak terlalu fokus dengan apa yang sedang terjadi. Jawad pun merasa ragu untuk memeriksa keluar, karena ia khawatir ada hal-hal yang membahayakan. Tak lama, suara lelaki histeris tadi kian menghilang. Ternyata, ia sudah berhenti histeris ketika orang-orang membawanya keluar rumah. Jawad berjalan cepat ke jendela kamar, menjaga jarak agar tidak ketahuan mengintip.

"Kayak kesurupan," ucap Jawad pelan. Orang-orang kini sedang membersihkan cairan seperti lendir yang keluar dari mulut lelaki itu. Jawad mengerutkan dahi, sesuatu yang janggal baru saja terjadi.

Salah seorang lelaki separuh baya dengan jenggot tipis menoleh dengan cepat ke arah jendela. Ia melirik Jawad tajam. Jawad tersentak ketika mereka semua perlahan ikut menoleh ke jendela tempat Jawad berdiri. Ia pun mundur perlahan. Tak menyangka akan mendapatkan tatapan seseram itu dari kerumunan yang ia yakini sebagai keluarga Almarhum Pak Yanto.

Di luar rumah, Muthi, Mehri, Harrir dan Ali baru saja pulang membeli makanan di toko glosir kampung sebelah. Mereka berjalan ke halaman membawa beberapa tas belanja. Harrir, Ali dan Mehri melirik sekilas rumah Pak Yanto. Mereka memilih untuk tidak berpikir macam-macam dan membiarkan.

Mereka bertiga pun membuka sandal dan meninggalkannya di teras, lalu masuk ke dalam rumah. Kecuali Muthi yang kini berhenti melangkah tepat di ambang pintu. Kepalanya lurus menghadap rumah tetangga kakeknya itu. Lebih tepatnya, kerumunan yang tampak sedang repot. Orang-orang itu sudah tak menoleh lagi ke jendela kamar tamu. Melainkan terfokus kembali ke lelaki histeris tadi. Namun, tak ada seorang pun yang menyadari kehadiran Muthi seperti mereka menyadari kehadiran Jawad di balik jendela. Mereka semua tak menghiraukan tatapan penasaran Muthi, seolah ia tak pernah berdiri menyaksikan mereka.

"Heh, ngapain di situ?" Harrir memanggil dari dalam.

Muthi menggeleng, tak menjawab. Ia masuk, melewati Harrir yang celingukan menatap halaman yang kosong melompong.

"Liatin apa sih tuh anak," gumamnya, lalu menutup pintu rumah.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Where stories live. Discover now