Mytha

2.4K 268 8
                                    

Zahra datang setengah berlari membawa tisu dan memberikannya kepada Mytha. Wanita itu langsung mengelap keringat yang terasa begitu dingin dari leher Jawad.

"Yang, kamu mimpi apa?" tanya Mytha, wajahnya tak kalah pucat dengan Jawad. Ia khawatir setengah mati.

Jawad menggeleng. Tak menjawab. Sedari tadi, mata Jawad terbuka begitu lebar. Bibirnya sedikit membiru. Suhu tubuhnya pun begitu dingin.

"Tadi dimana?" Jawad akhirnya membuka suara.

Mytha menggenggam tangan Jawad sambil menggeleng pelan. "Kamu gak kemana-mana. Dari tadi kamu di sini, tidur. Kamu mimpi buruk."

Jawad menelan ludahnya. "Enggak mungkin cuman mimpi," sanggahnya sambil melirik istrinya.

"Udah, Bang. Lupain. Itu cuman mimpi buruk. Gak lebih," ujar Tante Aya berusaha menghentikan pembicaraan ini. Mereka semua tidak mengatakan kepada Jawad bahwa lelaki itu terus kejang-kejang hebat saat tertidur. Bahkan, mengeluarkan suara mendengkur seperti saat Pak Yanto meregang nyawa.

"Pindah ke kamar tamu, ya," kata Mytha menarik Jawad. Mereka berdua pun menghampiri Harrir di kamar tamu. Anak itu membuka matanya saat mereka datang.

"Ternyata yang mendengkur itu Abang?" tanyanya, ada raut lega di wajahnya. Sedari tadi, ia sudah ketakutan mendengar arwah Pak Yanto dari jendela kamar tamu.

Mytha mengangkat alis sebagai jawaban. "Kalian berdua istirahat dan jangan berhenti dzikir," kata Mytha lalu menoleh kepada Jawad yang sudah berbaring di kasur. "Aku mau bikin teh dulu."

"Chamomile please," kata Harrir sambil mengangkat telunjuknya.

Mytha mendelik. "Chamomile, chamomile. Cuman ada sari wangi di sini."

Harrir membuang nafas. "Ya udah itu aja. Yang anget! Gulanya dua sendok gak boleh kurang gak boleh lebih!" seru Harrir seenaknya.

"He-euh, juragan munding!" cibir Mytha sambil berlalu. Harrir hanya terkekeh melihat sepupunya itu, lalu melihat Jawad yang sedang menatapnya.

Harrir mengerutkan dahi. Jawad sedang berbaring, menatapnya lurus dari seberang kasur. Wajah Jawad datar tanpa ekspresi. Entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Kenapa, Bang?" tanya Harrir, agak parno melihat Jawad diam seperti itu.

Jawad menggeleng lalu berbalik menghadap tembok. Harrir mengangkat bahu dan membaluti tubuhnya lagi dengan selimut. Suhu tubuhnya sudah mulai membaik. Bahkan saat diperiksa oleh thermogun menunjukkan 35 derajat. Namun, tak dapat dipungkiri, panas di punggung Harrir masih saja terasa sampai detik ini. Sesekali ia meringis. Kulit punggungnya seperti ditempeli benda hangat yang membuat tubuhnya tak nyaman.

~~~

Mytha membuka rak tempat teh disediakan. Ternyata, ada banyak teh berbagai macam rasa di sana. Mytha melamun selama mengeluarkan kantong-kantong kecil teh melati. Aroma bunga khas dari teh membuatnya agak merinding. Wangi ini persis seperti aroma Mehri saat tadi siang.

Mytha menggeleng, mengusir pikiran menakutkan dari kepalanya. Tiba-tiba, suara telepon rumah Pak Aki berdering.

"Teh Mythaa!" Tante Aya memanggil, bermaksud meminta Mytha untuk mengangkat telepon.

"Iyaaa," sahut Mytha, tak jadi membuka toples gula.

"Biar aku aja, Teh." Muthi sudah datang untuk menggantikan Mytha membuat teh.

"Okey," ujar Mytha dan ia pergi meninggalkan Muthi sendiri di dapur.

Suara telepon begitu menggema ke seluruh sudut rumah. Sudah lama sekali mereka semua tidak mendengar dering telepon tua rumah Pak Aki.

Mytha berjalan ke ruang makan. Ia sudah melihat telepon berwarna cokelat tua itu menempel di tembok dekat jam besar lantai berada.

Tiba-tiba, Mytha berhenti melangkah. Jantungnya seperti melambat. Matanya menatap tajam telepon itu.

Telepon tua itu masih berbunyi. Untuk beberapa saat, Mytha membiarkan deringannya terus terdengar oleh semua orang yang ada di rumah itu. Ia tak percaya dengan apa yang tengah disaksikannya.

"Teeeh?" Tante Aya kembali memanggil, agak heran kenapa Mytha tak kunjung mengangkat teleponnya.

Tak pikir panjang, Mytha langsung berlari ke ruang tengah dan berkata dengan cepat. "Kabel teleponnya lepas!"

"HAH?" Semua terkejut.

"Maksud Teteh apa?" tanya Ali.

Mytha menghela nafas lalu berkata, "Kabel telepon gak masuk ke saklar. Telepon itu mati."

"Tapi--tapi--" Zahra kehabisan kata-kata. Jelas-jelas, ia masih mendengar suara telepon itu berbunyi begitu nyaring.

Tante Aya dan Ali buru-buru berdiri dan mengecek telepon yang dimaksud Mytha.

Benar saja. Kabel telepon itu tidak menancap ke saklarnya. Suaranya masih berdering keras, dengan kabel yang sudah tidak berfungsi.

"Ya Allah." Tante Aya menutup wajahnya, ia mulai ketakutan melihat telepon tua itu. "Gimana cara matiinnya?" tanya Tante Aya frustasi.

Mytha menghampiri telepon tersebut. Tangannya sedikit bergetar saat menyentuh pesawat telepon.

"Teh, jangan, Teh!" seru Zahra. Ia tak tahan berada di sana, dan langsung berlari ke kamar, menghampiri Harrir dan menutup kepalanya dengan bantal sekuat-kuatnya.

Mytha tak menghiraukan, lalu ia mengangkat pesawat telepon. Suara deringan terhenti.

Perlahan ia dekatkan benda itu ke telinga kanannya. Tante Aya dan Ali menatap was-was.

"Ha..halo?" gumam Mytha.

"Neng!" terdengar seseorang memanggil.

Tante Aya menutup mulut, Ali menajamkan telinganya.

"Ini.. siapa?" tanya Mytha, suaranya sedikit bergetar karena takut.

"Ini Bi Hana! Mamah ada?" tanya seseorang yang dianggap sebagai Bi Hana itu.

Mytha menutup mulutnya, ia terlihat begitu panik saat itu. Matanya mulai berkaca-kaca. "Mytha lagi di rumah nenek, Bi!" seru Mytha lalu ia menangis kencang, masih menjawab pertanyaan di telepon.

Tante Aya mendekat dan menyentuh pundak Mytha. "Teh, kenapa???"

"Bibi..." lirih Mytha tanpa melepaskan pesawat telepon. "Bibi apa kabar?"

"Salam buat mamah, ya, Neng... Bibi kangen..." ucap Bi Hana. Lalu telepon terhenti. Suasana kembali hening.

Mytha sudah banjir air mata, ia menaruh lagi pesawat telepon di tempatnya dengan gemetar.

"Teh?" panggil Tante Aya khawatir.

"Bi Hana, Tante... Bi Hana," kata Mytha sambil sesegukan.

"Iya, iya, Bi Hana siapa?" tanya Tante Aya, sedikit mengguncangkan bahu Mytha.

"Bi Hana," kata Mytha sambil menarik nafas agar bisa bicara dengan jelas. "Tetangga aku yang ketabrak kereta dua tahun lalu."

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang