Apakah Warga Benar-Benar Berduka?

3.7K 301 19
                                    

"Parah, sih." Ali mengakhiri ceritanya. Dadanya naik turun, ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Pemakaman Pak Yanto adalah hal terburuk yang pernah ia lihat. Seumur hidupnya selama lima belas tahun terakhir, Ali tidak pernah dihadapkan dengan kejadian-kejadian di luar nalar seperti ini. "Nyesel dah Ali lihat pemakamannya," kata Ali. Ia bersandar ke tembok, membuka ponselnya--tak ada sinyal--lalu ia menaruhnya lagi.

Ali menerawang jauh. Ia berpikir keras, sebenarnya apa yang telah dilakukan Pak Yanto seumur hidupnya sehingga pemakamannya bisa semenyeramkan itu. Namun ia tak mau berprasangka yang tidak-tidak.

Semua berjalan dengan tersusun, seolah kematian Pak Yanto memang direncanakan seperti itu. Pertama, keranda yang bergetar hebat juga bunga yang tiba-tiba layu ketika shalat jenazah. Kedua, ular hitam besar yang sedang ganti kulit di liang lahat. Ular itu pun dibuang entah kemana, dan jenazah Pak Yanto tetap dimakamkan disitu. Ketiga, ketika kain kafan disingkapkan dari wajah Pak Yanto, si mayit sudah melotot hebat hingga bola matanya seperti hendak keluar dari kelopaknya, mulutnya sedikit menganga. Pada saat itu, Ali dan Harrir pun memutuskan untuk pergi. Untungnya, tak ada yang menahan mereka. Mereka berdua berlari-lari dari gang ke gang dan ngos-ngosan ketika sampai di rumah.

Kini Harrir berulang kali mencubit lengannya, membuktikan kalau ini bukanlah mimpi. "Nyata," ucapnya untuk kesekian kali.

"Iya A Iya! Percaya!" Muthi berseru. Ia semakin tak enak perasaan. Dan sedari tadi, Harrir terus meyakinkannya bahwa ini memang nyata. Padahal, apa yang ia katakan membuat Muthi semakin takut.

Mytha sedang melihat-lihat foto-foto lama digalerinya. Ketiadaan sinyal dan WiFi yang entah kenapa tidak bisa dipasang sampai hari ini, membuat tujuh sepupu merasa sangat bosan pada permulaan liburan. Mehri, Zahra dan Jawad sedang bermain  Uno Stacko. Tapi tak ada keseruan dari ekspresi mereka. Semua orang memilih untuk diam daripada menanyakan lebih jauh mengapa kematian Pak Yanto begini dan begitu. Karena hal itu malah membuat suasana menjadi tak kondusif. Ada orang mati ketika liburan, merupakan hal yang tidak pernah dibayangkan dan tidak diinginkan.

"Masalahnya tetangga euy. Sebelahan banget," ujar Harrir setelah hening beberapa saat.

"Isshh!" Mehri gusar.

"Cik diem atuh A," protes Zahra, melempar satu batang Uno Stacko kepada kakaknya itu.

"Jangan bikin makin takut, deh," sambung Mytha, mengingat bahwa kamar tamu benar-benar bersebalahan dengan kamar Pak Yanto.

Harrir hanya terkekeh geli melihat sepupu-sepupunya ketakutan. "Hilihh gitu doang. Cemen kalian mah," kata Harrir. Ia membetulkan posisi duduknya menjadi sila. "Gini ya dengerin." Muthi menutup telinganya dengan telunjuknya.

"Gak ada yang namanya arwah gentayangan. Orang yang udah meninggal hakikatnya nunggu di alam barzakh sampai nanti kiamat. Semua ada di bawah kekuasaan Allah. Jadi ngapain takut? Toh Pak Yanto udah didoain dan pemakamannya juga sesuai prosedur agama, 'kan?" Harrir mencoba memberikan ketenangan kepada sepupu-sepupunya. Mereka semua menatap Harrir dalam diam. Benar juga. "Nah 'kan bener!" Harrir bertepuk tangan sendiri.

Muthi melepaskan telunjuk dari telinganya. "Terus kalau tujuh hari pertama orang wafat itu katanya masih ada di sekitar kita itu gimana? Coba jelasin," tantang Muthi.

Semua menunggu Harrir menjawab. "Nah kalau itu--"

"Pak Aki harus ke Indramayu." Suara Sang Kakek Tercinta memotong pembicaraan. Semua sontak menoleh ke arah pintu kamar tamu, Pak Aki sudah memakai kemeja berwarna hitam. Ekspresinya tampak sendu.

"Ada apa Pak Aki?" Jawad sebagai ketua persepupuan, mewakilkan pertanyaan.

"Saudara nenek meninggal," jawab Pak Aki.

"Innalillahi wa innailaihi rojiun," lirih semua.

"Berarti nginep, dong?" tanya Mytha.

Pak Aki mengangguk. "Paling tiga hari. Kalian jaga diri baik-baik."

Semua orang langsung mengeluh. "Eng--enggak apa-apa. Yang penting nenek gak ikut." Zahra berkata yakin.

"Yeeeeh puguh saudara nenek tadi Pak Aki udah bilang!" Ali ngegas.

"Biasa wéh!" Zahra bersungut-sungut.

"Nafisa kadé¹⁶. Jaga. Jangan sampai main sendiri ke lapangan," ucap Pak Aki mengakhiri pembicaraan.

Bahu Muthi benar-benar lemas. Begitupun dengan yang lainnya. Jawad dan Mytha bangkit terlebih dahulu, mereka keluar kamar untuk membantu nenek dan pak aki mempersiapkan barang.

"Ya Allah kenapa jadi gini, sih?" keluh Ali seraya menutup kepalanya.

"Kenapa apa?" tanya Harrir.

Ali menggeleng. Ternyata ia bisa sepenakut itu. Harrir berusaha menahan tawa namun berita Pak Aki akan pergi ke Indramayu dan membiarkan mereka sendiri selama tiga hari membuat Harrir urung untuk mencairkan suasana seperti biasanya.

Kedelapan sepupu termasuk Nafisa yang sedari tadi bermain dengan nenek kini membantu memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Supir pak aki sudah siap di joknya. Pak aki dan nenek pun berpamitan kepada cucu-cucunya.

"Banyakin baca ayat kursi." Ucapan nenek membuat kedelapan sepupu menelan ludah.

Setelah bersalaman, mobil pun melaju meninggalkan garasi lalu menjauh dan semakin menjauh. Meninggalkan delapan orang yang belum siap ditinggal sendiri disebuah pedalaman desa tanpa sinyal dan tanpa minimarket.

Sebenarnya, Pak Aki hanya pergi tiga hari dan itu tidak masalah sama sekali. Namun, cerita kesaksian Harrir dan Ali soal pemakaman Pak Yanto, semakin membuat mereka bersugesti mengenai hal-hal mistis yang bisa saja terjadi.

Seandainya kamar yang lain seluas kamar tamu, pasti mereka sudah pindah sejak pagi tadi. Kedelapan sepupu saling gengsi untuk berkata jujur soal ketakutan mereka. Masing-masing tidak ingin membuat perasaan yang lain menjadi tak karuan. Niat mereka untuk berlibur selama dua minggu bisa saja berubah sewaktu-waktu.

Entahlah. Tidak ada yang berani mengungkapkan bahwa suhu sudah berubah drastis menjadi lebih dingin sejak Ali dan Harrir datang dari pemakaman.

Langit kian mendung dan gelap namun tak kunjung meneteskan air hujan. Rumah-rumah penduduk ditutup rapat, tak ada warung yang menjajakan dagangannya untuk hari ini. Penduduk menjadi hening seketika. Tak ada sayup-sayup suara ayam yang mengomando anak-anaknya di halaman masjid. Serangga-serangga berdiam diri di persembunyiannya. Kucing-kucing liar memilih untuk tidur entah dimana. Sepi.  Dan bungkam.

Tak ada yang bisa menebak secara pasti apakah ini bukti nyata bahwa warga sedang berduka, atau ada hal lainnya yang tidak bisa dijelaskan dalam sekejap.

Apakah warga benar-benar berduka?

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Where stories live. Discover now