Rel Kereta

2.7K 281 7
                                    

Sepeda terparkir di sebelah warung kecil di pinggir sungai. Jaraknya cukup jauh dari pemakaman tadi dan ada beberapa rumah warga di sana.

"Air putih, Li," kata Harrir meminta Ali membawakannya sebotol air mineral. Ali menurut.

Mereka berempat kelelahan karena menggoes sepeda terlalu cepat dan hampir-hampir oleng ketika mencoba menghindari lubang-lubang berbatu di jalan setapak.

"Gak ngerti itu tadi apaan ya? Apa salah denger kita?" Mehri membuka pembicaraan setelah lama diam.

Ali menendang batu di bawahnya. "Kalau berempat yang denger keknya bukan halu doang."

"Gak usah dibahas lagi. Paling ngeri sama yang miss k miss k gitu. Masih degdegan begini!" Harrir menekan dada sebelah kirinya. Ia memang pemberani, tapi tetap saja mendengar suara misterius itu membuatnya merinding.

Ibu-ibu penjaga warung menatap mereka berempat dengan penasaran.

"Rakhmat 1! Halo-halo!" Jawad memanggil melalui walkie talkie Harrir. Harrir melambai dan menyuruh Ali untuk mengangkatnya.

"Ya! Di sini Rakhmat 5, ada apa?" Ali bertanya.

"Mau sampai jam berapa mainnya? Jangan kesorean," kata Jawad.

"Iya!" Ali bertanya kepada Muthi, "Udah ini kemana?"

"Muter lewat rel aja," jawabnya. Ia tidak ingin kembali ke jalan setapak tadi. Mengambil jalan lebih jauh sepertinya lebih aman dibanding harus melewati jajaran pohon pisang, dan takut-takut makhluk tadi muncul kembali.

"Iya bener. Jangan lewat kuburan lagi malesin," sambung Mehri.

"Bentar lagi pulang." Ali pun menyerahkan walkie talkie kepada Harrir.

"Pegang aja dulu sama Ali." Harrir menolak. Ia terus meneguk air mineral sampai sisanya tinggal sedikit. Ia tidak bisa menutupi kepanikannya.

"Punten, ai kalian teh cucunya Pak Haji Rakhmat?" Ibu penjaga warung bertanya di balik dagangannya.

Muthi menoleh. "Iya, Bu."

"Oh, muhun atuh. Insya Allah aman," katanya.

Mehri mengernyit, Muthi menggeleng sebagai jawaban. "Gak ngerti," gumamnya.

"Yuk pulang aja!" bisik Harrir tak terlalu keras.

"Bu kami pamit, ya!" Muthi berpamitan kepada ibu tadi yang sedari tadi menatap mereka berempat dengan tatapan yang misterius.

"Oh iya Neng mangga," jawabnya.

Mereka pun menaiki sepeda dan kembali menggoes. Ibu penjaga warung tadi berdoa semoga keempat anak itu tidak mengalami hal-hal yang aneh.

Anak-anak itu berani sekali keluar di hari seperti ini, batinnya.

~~~

Mereka melalui persawahan. Beberapa petani masih berada di sana. Ada pula kerbau yang sedang membajak sawah.

"Halig Ali pake baju merah!" Muthi berseru, membuat petani pemilik kerbau itu tersenyum.

"Jangan diteriakin woy!" ucap Ali sambil tertawa.

Hari semakin sore, Adzan Ashar mulai terdengar. Mereka pun sampai di dekat rel kereta api yang palang bambunya baru saja ditutup oleh penjaga pintu. Keempatnya berhenti, menunggu kereta lewat bersama tukang es krim keliling yang sama-sama menaiki sepeda. Harrir melirik kotak es itu, tenggorokannya terasa kering.

Ali menutup mulutnya untuk menahan tawa dan mengambil uang disaku celananya. "Makanya bawa uang," katanya sambil menyerahkan uang 5000 kepada Harrir.

"Gitu dong pengertian," kata Harrir girang. Ia pun membeli es dari penjual itu.

Dari arah kiri, muncul kereta api yang menuju keluar kota yang membunyikan klaksonnya begitu kencang. Suara bising memenuhi telinga, angin dari bawah kereta berhembus sehingga Mehri harus menutup hidungnya karena debu.

Kereta lewat begitu cepat, namun terasa melambat bagi Muthi. Dari bawah sela-sela roda, pandangannya tertuju dengan seseorang di seberang sana. Samar-samar muncul baju putih bersih. Mesin di bawah kereta menghalangi orang itu, lalu memunculkan kembali sosoknya dari pinggang sampai kaki. Hingga kereta selesai lewat. Suara berisik kereta api menghilang seiring menjauhnya gerbong dari palang pintu.

Di seberang rel, ada seorang lelaki baya yang memakai sorban putih sebagai ikat kepalanya. Jenggotnya yang putih menghiasi dagunya. Matanya sayu namun menusuk berhasil beradu pandang dengan Muthi. Ia perlahan tersenyum dan mengangguk.

Lalu seorang lelaki dengan jins kotor dan kaus lengan pendek merah berlari ke tengah rel. Orang-orang yang menunggu di belakang palang pintu berteriak-teriak panik. Namyn sosok itu tidak menghiraukan dan sejenak menatap Muthi sebelum kereta kedua lainnya lewat secara tiba-tiba dan menghempaskannya dari arah kiri begitu cepat. Lelaki itu terpental, bajunya terkoyak habis, dengan setengah kepala hancur dan berlumuran darah.

Mulut Muthi seolah terkunci dan kaku, kejadian di hadapannya terjadi begitu saja. Orang-orang di belakangnya terdengar histeris. Tak ada yang berhasil menyelamatkan orang itu.

"Mut..." Panggil Mehri seraya memegang bahunya.  "Muthi!" Mehri membuyarkan lamunannya.

Muthi tersadar dan menoleh ke belakang dengan cepat. Tak ada siapa-siapa selain sepeda mereka berempat dan seorang tukang es keliling yang mulai beranjak. Lalu ia menoleh lagi ke depan, tak ada kakek bersorban dan orang yang tertabrak tadi menghilang.

"Loh? Tad-tadi buk-bukannya ada dua kereta?" Muthi menunjuk rel.

"Iya emang ada dua kereta. Udah ih jangan ngelamun!" Mehri pun menggoes sepedanya duluan, Ali mengekor. Muthi masih terpaku, pikirannya kacau balau. Lalu sesuatu berwarna merah menetes ke atas sepedanya. Ia terlonjak. Darah!

"Mau?" Harrir menawarkan es potong stoberi yang sedang ia makan. Muthi menggeleng cepat. Harrir pun memasukkan kembali es itu ke dalam mulutnya.

"Les gho!" ajaknya dan menginjak pedal. Mereka berempat pun melewati rel dan pulang menuju rumah nenek.

Kakek bersorban tadi memperhatikan kepergian mereka, selalu siap siaga.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Where stories live. Discover now