33. Jujur

1.2K 235 71
                                    

Aku selalu menyalahkan hatiku yang lemah karena pernah mempercayai Lucy. Tapi sebenarnya yang lemah bukan hati, yang lemah adalah aku. Aku yang terlalu mudah percaya.

Kesalahanku hanya karena aku mempercayainya, dan ketika aku sadar semuanya hanya kebohongan belaka, aku menjadi kecewa. Rasa kecewa itulah yang mengantarkanku pada rasa sakit, hingga rasanya seperti ada yang menekan dadaku dengan begitu kuatnya sampai aku merasa hatikulah yang terasa sakit.

Iblis itu, aku bersumpah rasanya ingin sekali membunuhnya dengan tanganku sendiri.

Dulu Samuel dan sekarang Renjun. Lucy tidak pernah berhenti berusaha membunuhku sejak dulu. Dia tidak ingin membunuhku dengan mudah, yang dia inginkan adalah aku memohon untuk kematianku sendiri. Tapi itu tidak pernah terjadi, bukan karena aku terlalu kuat atau aku tidak memiliki rasa takut, aku hanya percaya iblis itu tidak memiliki kuasa akan takdir hidupku. Dia tidak berhak membuatku menderika karena ulahnya.

"Taera?"

"Ah iya, Oppa?"

"Kamu melamun lagi, apa masih ada yang kamu sembunyikan?" Ten meneliti wajahku dengan seksama, berusaha menemukan sisa-sisa kebohongan yang mungkin berusaha aku tutupi.

Aku menggeleng "Bukan apa-apa, gak ada yang aku sembunyiin lagi."

Iya, akhirnya aku jujur pada Ten soal Renjun. Aku menceritakan semua padanya, termasuk pertemuanku dengan Renjun dan bagaimana keadaan dia sekarang. Dan soal Lucy, Ten sudah tau dia sejak dulu, tapi Ten tidak mengira iblis itu masih menggangguku sampai sekarang.

"Taera, kamu yakin ingin belajar ilmu itu dari nenek?" Ten menatapku cemas, sesekali dia menggigiti kuku-kuku jarinya sendiri. "Aku dengar sendiri dari nenek, kalau kadang sebuah mantra yang salah bisa mengundang celaka."

Aku mengangguk membenarkan "aku tau itu, tapi apa Oppa mau seumur hidup aku di hantui oleh Lucy?"

Ten menggeram, tangannya dengan cepat menyambar gelas kaca dan membantingnya ke lantai tanpa bisa aku cegah. Seketika keributan itu mengundang tatapan penasaran orang-orang karena saat ini kami berada di kedai kecil di pinggir jalan untuk makan.

"Oppa udah gila ya?!" Aku menatap Ten tidak percaya, bisa-bisa aku dan Ten di usir karena pemilik kedai mengira kami berdua sepasang kekasih yang sedang bertengkar.

Ten cuek saja meski orang-orang sedang menatapnya sekarang. "Walau aku takut hantu sekalipun, aku tidak akan ragu menebas kepala Lucy sialan itu kalau sampai bisa melihatnya."

Tanpa sadar aku terkikik geli. "Oppa pasti menyesal bicara begitu kalau tau dulu Oppa pernah menyukainya."

"Kamu gila ya?! Kapan aku pernah menyukai iblis itu?"

"Di kehidupan Oppa dulu, Kalian itu saling mencintai-"

"Omong kosong" Ten memotong perkataanku. "Kalau sampai itu terjadi, aku mengutuk diriku sendiri karena pernah menyukai wanita sejahat dia."

"Kenapa Oppa sangat membenci Lucy?"

"Kamu masih nanya kenapa?" Ten menatapku dengan mata mendelik, suaranya terdengar sedikit membentak. "Kamu gak tau sesayang apa Oppa sama kamu?"

"-Berani-beraninya iblis itu membebani hidup adikku. Aku bahkan rela mati demi kamu dan Eomma, kalau itu diperlukan." Ten menambahkan.

"Awww so sweet" aku mencubit lengan Ten gemas, kemudian menopang dagu dan menatapnya lekat. "Aku jadi pengen peluk Oppa."

"Aku ingin membunuh Lucy dengan tanganku." Ucap Ten cepat sebelum menegak Cola milikku.












✨✨✨


I Can See You [Huang Renjun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang