35. Selamat tinggal

229 46 8
                                    

Waktu itu saat aku menemui nenek sendirian bukan tanpa alasan, aku menemuinya karena ingin belajar lebih jauh tentang kelebihanku ini. aku ingin lebih mengenal diriku. Bersyukur ada nenek yang lebih dahulu mendapatkan kemampuan unik itu, setidaknya melalui pengalamannya aku bisa lebih banyak belajar.

Aku menyentuh kaca pembatas ruangan tempat Renjun dirawat bersama dengan Ten yang terus mengusap punggung tanganku.

"Taera, aku bangga sama kamu" Ten berucap pelan, bersamaan dengan itu aku merasakan sentuhan tangan lain meraba sisi wajahku. Tangan dingin itu milik Huang Renjun. Dia menatapku penuh arti, Kemudian suaranya yang lembut terdengar berbisik "Taera, berjanjilah jangan lupakan yang akan aku katakan ini"

"Apa?"

"Semua yang kita lakukan selama ini.. saat-saat dimana aku selalu ada disisi kamu, aku ingin terus mengingatnya."  Renjun menyampaikan keinginnya itu dengan tegas. Kedua matanya menatap lurus padaku. "Kalau nanti aku melupakan semuanya, aku ingin kamu selalu berusaha mengingatkannya. Tolong janjikan satu hal itu saja padaku"

Mendengar permintaannya itu tentu saja aku tidak langsung mengiyakan apalagi bersedia menjanjikannya. "Sejak awal kamu yang selalu mendatangiku, kamu ingat? Bahkan sebelum keadaannya seperti sekarang, kamu sudah lebih dulu mendatangiku dengan kanvas kosong."

Aku tersenyum tipis begitu melihat wajahnya yang berubah murung. "Aku nggak perlu menjanjikan hal-hal seperti itu denganmu. Karena begitu sadar nanti kamu pasti akan bergerak sendiri mencariku. Aku percaya meski tidak mengingat apapun, Jiwa yang ada di dalam tubuhmu akan terus berusaha mencari apa yang hilang."

"Kalian membicarakan apa?" Ten menyorotku dengan tatapan penasaran. "Janji apa yang kalian bicarakan?"

Aku menggeleng, menepuk pelan pundak Ten untuk menenangkannya. "Bukan sesuatu yang penting, aku juga tidak ingin menjanjikan apa-apa pada Renjun."

"Oppa, sekarang genggam erat kedua tanganku" Ten melakukan apa yang aku minta, dia meraih jari-jariku, menautkannya dengan erat pada setiap sela jemarinya. "Aku akan memejamkan mataku, kalau oppa merasa aku akan jatuh cepat teriaki aku tanpa sekalipun melepaskan tangan kita, mengerti?"

Ten mengangguk "tidak akan aku lepaskan.. apapun yang terjadi."

Perlahan aku memejamkan mataku sambil terus menerus memanggil sebuah nama "Luciana.."

"Kamu memanggilku?"

Begitu aku membuka mata, aku melihat Lucy berdiri berhadapan denganku. Hanya ada kami berdua disebuah tempat yang gelap dan berkabut dengan sedikit penerangan dari cahaya bulan. Aku tidak tau ada dimana sekarang, tapi yang pasti tempat ini hanya ilusi yang tidak bisa aku atasi.

"Kamu memberiku waktu 17 hari, tapi aku mendatangimu sebelum itu. Kamu benar, bertemu dengan Jun membuatku merasa hari berlalu lebih cepat. Karena sekarang aku tau, orang itu tidak hanya menyebabkan Sam meninggal tapi juga membuat Arwah Huang Renjun harus berkeliaran disuatu tempat seperti sekarang."

Lucy tersenyum tipis setelah mendengar penuturanku. Gadis itu mengedikan kedua bahunya. "Entahlah Taera.. aku sekarang malah merasa iba padamu."

"Bukankah kamu sudah dengar Sam sebenernya dibunuh?" Lucy menatapku dengan tatapan yang seolah mengatakan bahwa aku ini orang bodoh. "Untuk apa sebenarnya kamu menyelamatkan Renjun? Dia adik Jun. Renjun sama saja berdosanya, dia dari keluarga pembunuh."

I Can See You [Huang Renjun]Where stories live. Discover now