39. Perasaan Kita.

182 38 3
                                    

Huang Renjun, seseorang yang hidupnya pernah aku perjuangkan mati-matian, —seseorang yang ingin aku dengar suaranya secara nyata. Begitu dia menyebut namaku, aku hanya bisa terpaku dalam diam. Akhirnya suara itu bukan hanya aku yang bisa mendengarnya. Sekarang dia berdiri di hadapanku, benar-benar Huang Renjun yang datang menemuiku kali ini.

Ketika melihat tubuhnya yang malah berbalik memunggungiku dan ingin menjauh, aku dengan cepat menahannya. Mendekap tubuhnya dengan erat, agar sosoknya tidak hilang barang sejengkalpun hari pandanganku.

Renjun, jangan coba-coba melangkah mundur saat sudah memutuskan untuk maju selangkah.

"Seharusnya kamu nggak boleh pergi gitu aja kan setelah mengatakan semua itu?" Aku berbisik parau di balik punggungnya. Aroma harum dari tubuhnya yang bisa tercium sangat jelas membuat kedua mataku terasa perih. Aku jadi ingin menangis.
—Akhirnya tangan ini bisa benar-benar menggapaimu, aku tidak lagi di anggap gila karena berbicara dengan kamu.

"Kalau begitu, aku yang harus pergi menjauh sekarang?"

Aku melepaskan tubuh Renjun, —aku memutar badan dan mendongakan kepala sedikit keatas, mendapati Lee Jeno sedang menatapku lekat-lekat. Hujan masih turun dan badanku sama sekali tidak basah, karena air hujan tidak bisa menyentuhku. Sementara itu aku melihat setengah badan Jeno sudah basah karena hujan, sejak awal payung Jeno memang hanya melindungiku.

Aku menggeleng, menatap Jeno dengan jenis tatapan serupa yang dia berikan padaku. "Kenapa salah satu dari kita harus mengalah dan pergi?" Aku bertanya bingung, menepuk-nepuk punggung Jeno dengan pelan. Aku melihat kekesalan di matanya.

"Seharusnya kita pergi ke tempat yang hangat kan sekarang? Payungnya cuma ada satu, jadi ayo pergi sama-sama."

Jeno membuang muka, cowok itu terlihat tidak setuju. Sementara itu Renjun malah meraih tanganku untuk di genggam erat. Aku menghembuskan napas berulang kali, diam-diam hanya bisa mengutuk diri sendiri dalam hati. Kenapa aku harus terjebak disini? Di antara dua orang yang tidak bisa bersama denganku di saat bersamaan.

"Taera, kalau kamu memang ingin pergi dan bicara dengannya aku akan mengalah." Jeno melirik tangan Renjun yang menggenggam tanganku, kemudian Jeno membuat Renjun harus menggenggam payung yang dia sodorkan begitu saja.

"Lee Jeno—"

"Ini terakhir kalinya." Jeno berujar tenang di tengah air hujan yang jatuh membasahi rambut hitamnya. "Lain kali aku akan menggenggam tangan kamu lebih dulu."

Suaranya memang terdengar tenang.. tapi raut wajah Jeno membuatku merasa bersalah. Apa tanpa sadar aku sudah melukainya?

"Cepat berteduh dan beli makanan yang hangat." Jeno mengusap helaian rambutku dengan tangannya yang basah, kemudian dia tersenyum hangat. "Kamu merindukan dia kan?"

"Aku juga terkadang merindukan Sodoku saat tiba-tiba dia tidak mengikutiku, tapi bukan berarti aku menyukainya kan?" Jeno terkekeh dengan matanya yang melengkung lucu. "Aku akan membiarkannya kali ini, karena aku merasa percaya diri."

Jeno melambai kecil padaku dengan membiarkan payung hitamnya di genggam oleh Renjun. Kemudian tubuh tinggi Lee Jeno berjalan menjauh menerobos derai hujan dengan tangannya yang dia tempelkan di atas kepala. Sosoknya berlari kecil menjauh, sampai akhirnya hilang di antara kerumbunan orang-orang yang tengah berjalan di antara hujan.

I Can See You [Huang Renjun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang