37. Sweater Weather.

217 41 7
                                    

Jari-jemari Lee Jeno menari indah menekan tuts piano. Sambil memejamkan mata dia bernyanyi dengan suaranya yang khas. Sebelumnya dia menarikku untuk datang ke ruang kesenian bersamanya. Katanya dia akan memperlihatkan surga untukku, jadi dimana surga yang dia maksud itu?

"Dimana surganya?" Aku menghembuskan napas dengan susah payah, kemudian memilih tenggelam dalam alunan musik yang Jeno ciptakan. Mataku hampir terpejam saat menyandarkan kepala di bahunya, kemudian suara Jeno yang menjawab pertanyaan itu membuatku harus menahan mual.

"Surganya ada di wajah dan suaraku." Jeno seperti merasa geli dengan ucapannya sendiri.

"Haha, lucu sekali." Kali ini aku benar-benar memejamkan mataku rapat-rapat, aku bisa menghirup aroma manis dari parfum yang Jeno gunakan. Berulang kali aku menarik dan menghembuskan napas dengan susah payah.

Belakangan ini aku selalu merasa cemas dan kesepian tanpa sebab. Entahlah aku hanya merasa sangat kesakitan disaat sebenarnya tidak ada sesuatu yang menyakitiku.

"Apa kamu nggak bisa melihat aku sekali saja?"

"Maksudmu?" Aku bertanya tidak mengerti.

"Aku ada disini, di samping kamu. Tapi kamu nggak melihat ke-arahku sama sekali, aku nggak tau ada dimana jiwa kamu seakarang."

"Lee Jeno?"

"Hm?" Aku merasakan kepala besar Jeno bergeser dan menindih kepalaku, bersamaan dengan suara pianonya yang juga berhenti.

"Aku merindukan Huang Renjun."

"Aku tau." Jeno menjawab pelan. Setelahnya tidak ada lagi suara, hanya keheningan panjang yang mengisi ruangan tempat kami berada.

Sudah dua minggu berlalu sejak terakhir aku melihat Renjun. Aku dengar dia sudah di pindahkan keruang inap biasa di rumah sakit tempatnya dirawat, setiap hari kondisi Renjun semakin membaik dan dia sekarang sudah sadar dari komanya.

Dulu dia bilang akan langsung berlari seperti orang gila untuk menemuiku ketika sadar dari komanya.

Tapi sepertinya dia melupakan aku.

"Aku hanya sedang berusaha menghibur kamu." Jeno berbisik, kemudian dia menjauhkan kepalanya dan beralih menatapku. "Sementara itu dipikiran kamu hanya ada Renjun."

"Seharusnya aku nggak berusaha menenangkan kamu dengan lagu, karena kamu hanya akan merasa tenang kalau sudah bertemu dia."

"Jangan menatapku begitu." Aku menangkup pipi Jeno dengan kedua tanganku, lalu menekannya cukup kuat sehingga membuatnya langsung meringis. "Terimakasih sudah berusaha menghiburku."

"Tapi itu nggak membantu sama sekali." Jeno menepis tanganku dari wajahnya.

"Tapi itu sudah lebih dari cukup." Aku tersenyum padanya, menepuk sebelah bahunya pelan sebelum beranjak dari kursi panjang yang kami duduki.

"Mau menemui Huang Renjun denganku?"

Aku menggeleng dengan pasti. "Tidak. Aku hanya akan membuatnya bingung."

"Kalau begitu kamu harus melupakan dia." Jeno mengatakannya dengan wajah serius, kemudian dia menghampiri aku yang berdiri menghadapnya, membuat tubuh kami berdiri saling berhadapan. "Kalau ingin tenang kamu harus bisa menyingkirkan apa yang membuatmu merasa tidak tenang. Kamu sudah di lupakan, sekarang kamu juga harus melupakan dia."

"Baiklah." Aku tersenyum tipis, menepuk pundak Lee Jeno sebelum akhirnya memutuskan keluar dari ruangan itu. "Kalau begitu belikan aku makanan sekarang."

Aku mendengar Jeno mendecak, tapi langkahnya mengikutiku dari belakang. "Apa aku pengganti Na Jaemin?"

Aku langsung tertawa tanpa sadar mendengarnya. "Selama ini aku selalu membuntuti Na Jaemin kemana-mana. Tapi kamu itu lebih seperti Renjun yang selalu mengekoriku."

I Can See You [Huang Renjun]Onde histórias criam vida. Descubra agora