Bab 19

2.7K 301 5
                                    

"This is like a timeline,
Of all the moments we loved.
One scene, two scenes, like a movie.
In the end, it's a sad ending."

ONEUS – A song Written Easily

********************************

"Kau sudah siap?"

'Benar, apakah aku siap?'

Pertanyaan tersebut menggema dalam pikiran. Termenung tak dapat memberikan jawaban pasti. Benarkah ia sudah siap? Benarkah ia mampu melewatinya tanpa gentar sedikitpun? Meski ia yang menginginkan hal ini? Ia sendiri tak tahu jawabannya.

Tetapi tangan yang terulur tidak akan menunggu hingga Serena menemukan jawaban. Mata dengan warna persis seperti miliknya jauh lebih jernih seolah tak pernah ragu, menatap lurus pada matanya. Serena iri akan hal itu. Hatinya yang masih mudah goyah, pikiran yang bimbang, meski ingin membuangnya sang Putri masih tidak sanggup.

Tangan Elliot yang terulur akhirnya disambut perlahan. Ketika jemarinya tiba, Elliot ikut meletakan telapak tangan diatasnya kemudian menepuknya pelan seolah berusaha memberi sinyal keberanian untuk Serena.

Pintu kereta kuda ditutup begitu keduanya telah duduk dengan nyaman. Roda-roda segera berputar mengikuti langkah kaki dua ekor kuda yang menariknya beriringan membawa sepasang adik kakak itu menuju istana.

**************

Serena tidak menampakan ekspresi berarti ketika menginjakan kakinya di hadapan hamparan karpet merah yang sengaja digelar. Semua mata memandang kepadanya, memang terasa memberatkan tetapi tidak cukup untuk membuat nyali sang Putri ciut hingga ingin melarikan diri. Karena ia tahu jika tidak diakhiri saat ini maka masa depannya akan semakin rumit.

Singgasana yang berdampingan telah dihuni oleh pemiliknya, Raja dan Ratu mengangguk ketika Elliot beserta Serena memberikan hormat mereka. Di sisi lain, beberapa petinggi kerajaan pun telah hadir dan berdiam di posisi. Mereka yang dahulu disegani oleh sang Putri, kali ini tampak tak semenakutkan ingatannya. Mungkin karena tatapan mereka meski tajam, tidak lagi disertai penghakiman. Mungkin pula karena saat ini sang Putri ditemani oleh walinya yang sah hingga mereka tak dapat membiarkan mulut mereka lepas begitu saja.

Di hadapan sang Raja, sebuah podium diletakan. Pria dengan berpakaian resmi tak lupa menyematkan jubah agung berdiri tegak disana. Sorot mata yang hangat berbelas kasih, sama seperti ingatan Serena. Meski kali ini rasa iba mungkin terselip disana. James Arthur, pemimpin divisi keagaaman bagi Valency. Serena tidak memiliki banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan pria ini, tetapi diantara singkatnya pertemuan mereka tidak satupun yang meninggalkan kesan tak nyaman. Sayangnya, pria lain yang berdiri di samping tuan Arthur adalah pria dengan tatapan menyakitkan, yang hingga saat ini berusaha ia hindari.

Elliot mengantarkan Serena ke podium sebelum akhirnya meninggalkannya untuk berdiri bersama para petinggi. Ada rasa kehilangan yang janggal ketika tangannya tak lagi merasakan temperatur hangat dari tubuh Elliot, padahal sang kakak hanya berjarak tak lebih dari sepuluh langkah. Di saat itulah ia sadar, kali ini ia harus menghadapinya sendiri. Debaran jantung tak bisa membohongi. Ia gugup, tetapi tentu saja ia tidak dapat menampilkan kondisi sebenarnya. Ia berusaha keras menguatkan hatinya untuk hari ini. Ia tidak dapat mundur lagi.

Sedikit keterkejutan menyambutnya ketika bertemu pandang dengan putra mahkota. Ekspresi kelelahan jelas terlihat dari wajah pria itu, kantung mata yang jelas, dan sorot yang meski tajam mata itu memerah cukup menjelaskan betapa sulit hari-hari dilaluinya. Serena telah mendengar dari Elliot bahwa sang Raja akan memberikan hukuman kepada Putra mahkota akibat kekacauan yang terjadi. Tetapi tidak pernah tahu mengenai detailnya, karena ia berusaha membatasi diri. Namun, ketika melihat kondisi ini tak terhindarkan batin Serena mulai bertanya, hukuman apakah gerangan yang diberikan hingga mata biru yang biasanya cemerlang itu kali ini memerah?

Kingdom Stories : The Abandoned CrownWhere stories live. Discover now