Bab 40

1.4K 111 3
                                    

" I'm where you should be,
You're where I should be. "
****
" Cause I'm your home,
Because you're my home.
Where you can cry,
Where I can cry."

Seventeen – Home.

*****************

Angin dingin bertiup pelan, menerbangkan helai demi helai lembut rambutnya. Matahari yang semula bersinar tiba-tiba lenyap dilahap gumpalan lembut awan kelabu. Di balut dengan pakaian musim dingin, kaki-kakinya melangkah malas menuruti perintah.

Felix menahan diri untuk tidak menggerutu sepanjang jalan. Luapan kelelahan yang tiba-tiba menyerang tidak mau lepas seolah menempel pada tiap jengkal tubuh.

Ia baru saja hendak beristirahat. Baru saja mengganti bajunya, kemudian dengan malas melemparkan diri ke atas ranjang. Ketika ketukan menyebalkan itu terdengar dari pintu.

'Sial.' Dalam hati ia tetap mengumpat.

Belum sampai satu jam ia tiba di istana, dan sang Ayah sudah memanggilnya. Entah dengan alasan apa, karena tidak biasanya. Selama bertahun-tahun yang telah ia lalui ketika pulang dari akademi, sang Raja tidak pernah sekalipun memanggilnya terlebih dahulu. Felix sendirilah yang akan datang menyapa, tentunya setelah ia puas berkunjung dan menghabiskan waktu bersama Serena terlebih dahulu. Tetapi tahun ini berbeda. Selain ia tidak akan menemukan Serena di kediaman bagi putri mahkota, sang ayah, yang entah mendapat petuah dari mana, memanggilnya terlebih dahulu.

Alis Felix saling bertaut, berkedut samar. Meski menahan diri untuk tidak menggerutu, tetapi ekspresi di wajahnya tidak benar disembunyikan.

Tetapi, semuanya pudar ketika pintu besar dengan lapisan metal berkilau dibuka. Felix menghela nafasnya sejenak kemudian mengambil langkah.

Ruang kerja ayahnya berada cukup jauh di istana bagian pusat. Mereka yang ingin bertemu sang Raja perlu melewati pagar berlapis dengan penjagaan ketat. Dahulu katanya tempat ini tidak dibangun seperti ini. Sistem penjagaan berlapis ditambah pagar-pagar kokoh dibangun 3 generasi sebelumnya, tepatnya ketika buyut Felix baru naik tahta. Mereka bilang saat itu Raja yang menjabat memang sangat memperhatikan perlindungan akan dirinya, meski keadaan Kerajaan tengah damai. Entah apa yang merasuki mendiang sang Raja hingga nampak selalu gelisah hingga membuat sistem merepotkan seperti ini.

Felix kembali memutar bola matanya, mencoba menghilangkan rasa kantuk dan lelah yang menggerogoti kesadaran. Pada akhirnya ia sampai di ruang kerja itu.

Ketika masuk hal pertama yang terlihat adalah pemandangan biasa. Sang Ayah duduk di meja kerjanya dengan berbagai tumpukan kertas yang tersusun rapi menunggu untuk di kerjakan. Mahkota yang jika dalam keadaan formal terletak di atas kepala, kini terpajang apik di meja khusus tepat di samping meja kerjanya. Ketika menyadari itu, Felix secara samar mengangkat alisnya, namun tidak lama karena pandangan mereka segera bertemu. Ketika sudah berada di jarak yang sesuai barulah ia memberikan hormat pada sang Raja.

"Aku pulang ayahanda."

Seulas senyum kecil muncul di wajah Alvonse. Melihat anaknya telah kembali dari akademi dengan prestasi gemilang.

"Ah ya, kau pulang juga akhirnya. Duduklah." Alvonse bangkit dan membimbing putranya ke area untuk menjamu tamu.

"Cepat siapkan teh dan camilannya. Putraku baru saja menempuh perjalanan yang jauh!" Alvonse memerintahkan pada para ajudan dan dayang yang bersiaga di ruangan. Tentu dengan cekatan mereka merespon ucapan sang Raja. Tangan mereka bergerak cepat dan tepat, tanpa menimbulkan banyak kebisingan. Setelahnya mereka semua keluar untuk memberikan privasi pada ayah dan anak ini.

"Kau pasti lelah menempuh jarak yang panjang. Bagaimana keadaanmu selama disana?"

"Seperti yang ayahanda lihat, aku baik-baik saja. bagaimana kabar Ayahanda sendiri?"

Kingdom Stories : The Abandoned CrownKde žijí příběhy. Začni objevovat