Part 9

3.2K 322 46
                                    

Walaupun Zayn harus puas dengan hasil imbang kemarin sore, Zayn tetap kembali ke London dengan perasaan senang. Senang karena akhirnya ia akan bertemu Alaska lagi.

Zayn langsung ke rumah sakit begitu ia menginjakkan kakinya di London. Iris ada disana ketika Zayn sampai. Cewek itu terlihat cukup kelelahan. Ia sedang duduk di sofa, kedua tangannya disilangkan dan matanya terpejam.

“Dad!” Alaska tersenyum lebar saat melihat Zayn Zayn menghampiri Alaska, dan anak itu langsung memeluk Zayn. “Aku lihat pertandingannya.”

Zayn mengangkat sebelah alisnya. “Benarkah?”

“Ya,” Alaska tersenyum. “Seri. Tapi gol dad lumayan juga.”

Entah Zayn baru menyadari atau apa, rasanya senang sekali melihat Alaska tersenyum kepadanya seperti itu. Rasanya hampir-hampir sama menenangkannya seperti saat Katya tersenyum kepadanya.

“Alaska masih sakit?” tanya Zayn kemudian.

Alaska menggeleng. “Tidak.”

Sulit menerka apakah Alaska berbohong atau tidak. Wajah Alaska masih sepucat kemarin, tetapi mata abu-abunya berbinar-binar. Ia juga sudah mulai tersenyum dan berbicara seperti biasanya.

“Kau sudah kembali?”

Zayn menoleh ke asal suara. Tentu saja itu Iris.

Iris sekarang sudah bangun walaupun ia masih duduk di atas sofa. Seulas senyum kecil terpasang di bibirnya, dan Zayn tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum balik.

“Ya,” gumam Zayn. “Omong-omong, tidak apa-apa kalau kau ingin pulang,” Zayn berjalan ke arah Iris dan memelankan suaranya agar Alaska tidak dapat mendengarnya. “Aku sudah disini. Aku bisa menjaganya. Lagipula, sepertinya kau butuh istirahat.”

“Sepertinya kau yang butuh istirahat.”

Zayn tahu Iris benar.

Ia selesai pertandingan sekitar jam 8 malam. Setelah itu kembali ke hotel untuk merapikan barang-barang, makan malam sebentar, lalu terbang kembali ke London. Saat itu masih jam 5 pagi waktu setempat ketika Zayn sampai di rumah sakit.

Artinya, Zayn belum tidur semalaman.

“Aku tidak bisa menahanmu lama-lama, kau tahu,” gumam Zayn. “Harusnya kan aku yang menemani Alaska. Masalah istirahat, sepertinya tak jadi soal.”

Iris menaikkan sebelah alisnya. “Oke, kalau itu maumu,” Iris mengangkat bahu. “Aku pulang sekarang. Tapi berjanjilah kau bakal pulang dan beristirahat ketika aku sampai disini lagi nanti siang.”

“Eh, itu...”

“Berjanji saja.”

Zayn menggerutu. Bisa-bisanya Iris mengaturnya seperti ini, umpatnya dalam hati. Tetapi, Zayn malah bilang, “Oke, deh.”

“Omong-omong,” Iris mengeluarkan sebuah kunci mobil yang Zayn kenal dari dalam tasnya. Kunci mobilnya. “Aku pinjam mobilmu semalam. Kuharap kau tidak keberatan.”

Setelah Iris pamit kepada Alaska, cewek itu pergi. Zayn menawarkan diri untuk mengantar Iris sebentar karena Alaska pasti tidak keberatan, tetapi Iris bersikeras ia ingin pulang sendiri. Iris juga membenci gagasan meninggalkan Alaska sendirian di rumah sakit.

Alhasil, disanalah Zayn, duduk di samping tempat tidur Alaska sembari menonton siaran ulang pertandingannya. Zayn hampir tidak pernah menyaksikan siaran ulang. Ia tidak terlalu senang melihat dirinya sendiri sedang bermain seperti itu, karena menurutnya ia kelewat jelek.

Zayn sudah mencoba segala cara untuk mengusir kantuk—mulai dari berjalan-jalan, membaca koran, mencuci muka, tetapi tetap saja ia mengantuk. Sepertinya, obat kantuk hanya ada satu. Tidur.

For him, She was.Where stories live. Discover now