Part 17

2.8K 290 11
                                    

Setelah pulang mengantar Iris, Zayn pergi ke makam.

Tentu saja makam sangat gelap. Penerangan yang kurang serta hujan yang turun dengan derasnya membuat Zayn harus ekstra hati-hati ketika berjalan di atas bebatuan yang licin. Sudah dua kali Zayn hampir kepeleset. Ia tidak akan membiarkan dirinya jatuh dipenuhi lumpur.

Zayn harus merapatkan jaket yang sedang dipakainya. Beruntung ia menyimpan sepatu boot di dalam mobilnya. Kalau tidak, mungkin kakinya sudah dipenuhi lumpur karena ia hanya memakai sandal jepit dari rumah tadi.

Saat Zayn sudah sampai di depan batu nisan Katya, Zayn berjongkok. Sebelah tangannya memegang payung sementara sebelah tangannya lagi memegang puncak batu nisan. Matanya terpaku pada nama yang tertera di batu nisan itu.

Katya Malik.

Zayn merasakan hujan sudah membasahi sebagian jaket yang dipakainya, tetapi ia tidak ingin cepat-cepat pergi.

Saat itu Zayn merasa terlalu sedih untuk berbicara sepatah katapun. Zayn yakin kalau ia mulai berbicara satu kata saja, ia akan menangis. Sedangkan Zayn tidak ingin menangis.

Setelah hening selama beberapa menit, Zayn mulai berbicara.

“Hai,” sapanya. Suaranya sangat kecil dibanding dengan suara hujan, sampai-sampai Zayn kesulitan untuk mendengar suaranya sendiri. “Hari ini tepat 6 tahun kau pergi, lho, Kat.”

Guntur menyambar di langit.

“Tepat 6 tahun lalu kau pergi dari hidupku,” Zayn menghela napas, lalu udara yang dihembuskannya berubah menjadi asap. “Aku merindukanmu. Sudah 6 tahun berlalu, tetapi aku masih tetap merindukanmu. Payah, ya?”

Perlahan-lahan, intensitas hujan yang turun berkurang. Zayn bisa merasakan suara hujan mulai tidak seberisik tadi.

“Aku bertemu denganmu,” Zayn melanjutkan, “di Manchester, beberapa waktu lalu. Aku sangat yakin itu kau. Kau ada disana. Kau berbicara dan tersenyum padaku, tetapi kau tidak mengenaliku,” Zayn memberi jeda. “Bagaimana bisa?”

Zayn menghela napas lagi. “Bagaimana bisa kau ada disana dan tidak mengenaliku?”

Rumput yang berair dan berlumpur membuat Zayn tidak nyaman. Tanpa mengucapkan kata perpisahan apa-apa, Zayn berjalan kembali menuju mobilnya, lalu ia mengemudikan mobilnya menjauh dari makam.

***

Jumat itu Zayn memutuskan untuk pulang ke Bradford.

Sudah cukup lama ia tidak pulang, dan rasanya ia mulai merindukan rumah. Zayn mulai merindukan udara sejuk Bradford, dengan segala ketenangannya. Berbeda dengan London, Bradford sangat sepi dan damai.

Tentu saja Zayn mengajak Alaska. Alaska sendiri juga sudah lama tidak berkunjung ke Bradford. Keluarganya—terutama ibunya—pasti akan memarahi Zayn ketika Zayn sampai di Bradford, karena Zayn sangat jarang mengajak Alaska kesana.

Alaska sangat bersemangat ketika Zayn mengumumkan bahwa mereka akan ke Bradford pada hari Jumat. Alaska terus-terusan bertanya seperti apa Bradford itu, siapa saja yang akan mereka temui di Bradford, dan yang lainnya.

“Kita akan menemui nenek, kakek, dan banyak lagi,” begitu jawab Zayn.

Ayah Zayn menjemput Zayn di bandara dengan mini-van nya. Ia begitu senang ketika melihat Zayn, dan lebih senang lagi ketika melihat Alaska.

Zayn menawarkan diri untuk menyetir dari bandara ke rumah mereka sementara ayah Zayn dan Alaska bercanda di kursi belakang.

Bradford hampir tidak pernah macet. Tidak seperti London yang selalu padat, jalanan di Bradford hampir selalu sepi. Hanya ada satu atau dua mobil yang melintas. Sisanya hanya pejalan kaki, atau orang bersepeda.

For him, She was.Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt