Part 27

2.8K 323 111
                                    

 "Apalah arti memiliki,

Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?

Apalah arti kehilangan,

Ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?

Apalah arti cinta,

Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami tertunduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?

Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja."

—Tere Liye, Rindu.

***

"Dah, ayah!"

Achilles Nakamura, seorang anak laki-laki berusia 6 tahun itu dengan semangat melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung sekolahnya. Kedua tangannya memegang erat tas gendong kecilnya yang berwarna biru.

Di belakang punggungnya, berdirilah Ethan Nakamura. Ethan balas melambai ketika Achilles melambai ke arahnya, melemparkan senyum seadanya kepada anak laki-laki itu. Barulah setelah anak itu menghilang dari pandangannya, Ethan berbalik pergi.

Ethan Nakamura menghirup kuat-kuat udara Manchester yang dingin. Ia berjalan dengan lesu ke arah mobilnya, kemudian menyalakan lexus hitam itu agar bisa memacunya secepat yang ia inginkan.

Sudah empat jam berlalu sejak Ethan mengantarkan Achilles ke sekolah. Hari itu ia tidak sibuk di rumah sakit tempatnya bekerja. Boleh dibilang, hari itu adalah hari liburnya. Tapi, apalah arti hari libur kalau tidak punya tujuan dengan apa hari itu akan dihabiskan.

Sembari menghela napas, Ethan menatap lagi layar ponselnya. Keinginannya untuk bertemu dengan orang itu tidak bisa terwujud karena tampaknya, orang itu sudah keburu memiliki janji dengan orang lain. Berapa lamapun Ethan menatap ponselnya, jawaban 'tidak' itu tidak akan berganti menjadi 'ya.'

Ethan lamat-lamat menatap ke luar jendela kamarnya. Matanya terfokus pada sebuah papan iklan besar di ujung jalan, tetapi pikirannya fokus ke hal-hal lain. Laptop di hadapannya dibiarkan menyala sampai cahayanya meredup.

Perasaan bersalah menggerogoti Ethan seperti lumut merambat di bebatuan sungai yang lembap. Ethan tahu ia sudah melakukan kesalahan yang teramat sangat besar, yang tidak mungkin akan bisa dimaafkan oleh siapapun juga.

Setelah 6 tahun, ia mengira jika ia bisa memiliki orang itu untuk dirinya sendiri, jika ia menjauhkan orang itu dari semua orang yang menyayanginya, pada akhirnya ia akan bisa kembali memenangkan hati orang itu.

Ternyata, ia salah.

Mungkin sudah waktunya bagi Ethan untuk bangkit dan menerima konsekuensi dari apa yang telah diperbuatnya di masa lalu.

Tapi, apakah ia siap?

Bunyi nyaring yang berasal dari ponselnya membuatnya terbangun dari lamunan panjangnya. Sebuah nama yang muncul di caller ID membuatnya mengerutkan dahi dengan bingung, tetapi juga, merasa sedikit bahagia.

"Halo?"

"Ethan," suara itu menyapa namanya dari sebrang. "Apakah kau ada acara siang ini?"

Ethan menggeleng lesu. Kenyataan bahwa orang itu tidak dapat melihatnya membuatnya berdehem dan menjawab, "tidak. Memang kenapa?"

"Kau bisa datang ke Chiquito sekarang?"

For him, She was.Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon