Part 6

3.2K 315 26
                                    

Pagi itu setelah mengantar Alaska ke sekolah, Zayn melakukan apa yang sudah seharusnya ia lakukan. Sebenarnya ia tidak harus melakukan itu, sih. Tetapi berhubung ia ingin dan ia bisa, jadi ia harus melakukannya.

Zayn pergi ke bank.

Kebetulan di dekat sekolah Alaska ada bank, jadi Zayn pergi kesana. Karena bank baru buka jam 10 pagi dan saat itu masih jam 9, Zayn memutuskan untuk duduk di cafe tak jauh dari sana sembari memesan segelas americano.

Menurut Zayn, rasa kopinya hambar. Tidak seenak kopi buatan Katya. Zayn baru menyadarinya: semua makanan yang ia makan selama ini, dalam 6 tahun ini, terasa hambar.

Zayn jadi ingat ketika ia berkata kepada Katya kalau ia merindukan masakan Katya, beberapa tahun lalu setelah pertengkaran terbesar mereka.

“Masakanku, aku,” kata Katya waktu itu. “Sama saja, kan?”

Apa sudah terlambat buat Zayn untuk berharap kalau semua ini cuma mimpi? Zayn ingin membuka matanya lagi dan melihat Katya di sampingnya. Atau Zayn ingin membuka matanya lagi dan menemukan dirinya tertidur di sofa Katya di Merseyside. Yang mana saja

Tapi sayangnya, ini nyata.

Satu jam kemudian, sekitar jam 10 lewat, bank sudah buka. Zayn sebenarnya bisa saja mencari mesin ATM 24 jam untuk mentransfer sejumlah uang ke rekening orang itu, tetapi masalahnya ia harus mencetak buku dulu untuk melihat semua transaksinya akhir-akhir ini.

Tidak sulit bagi Zayn untuk mendapatkan nomor rekening Iris. Zayn hanya tinggal bertanya kepada kepala sekolah untuk kepentingan yang mendadak dan pribadi. Untungnya si kepala sekolah tidak banyak bertanya, dan langsung memberikan nomor rekening itu.

Zayn mengirim uang sebanyak dua puluh ribu pound—jumlah yang sama seperti yang selalu ia kirimi kepada Katya setiap minggunya. Bukan jumlah yang besar mengingat gaji Zayn sekarang sudah lebih dari dua ratus ribu pound per pekan.

Sebenarnya Zayn termasuk pemain dengan gaji terbesar, mungkin dia berada di urutan ketiga atau keempat. Zayn bisa saja hidup glamor, punya mansion besar dan cewek-cewek yang berbeda setiap harinya.

Sayang sekali hatinya masih terpaku kepada seseorang.

***

“Dad, bukankah itu Ms. Tomlinson?”

Mata Zayn menyipit ketika mengikuti arah jari telunjuk Alaska yang menunjuk ke arah seorang cewek berambut cokelat yang memakai celana jins dan kaus hitam bertuliskan nama salah satu band rock terkenal.

Ya, itu jelas Iris.

Zayn memarkirkan mobilnya di tempat biasa—tempat yang sama dimana ia menurunkan Alaska dari mobil setiap harinya. Begitu mesin mobil dimatikan, Alaska keluar dari mobil untuk menghampiri Iris. Iris tersenyum ke arahnya, tetapi kemudian matanya beralih ke arah mobil.

Ke arah Zayn.

Dari jarak beberapa meter saja Zayn tahu kalau Iris ingin berbicara padanya. Mata Iris mengisyaratkan Zayn untuk turun dan berbicara sebentar. Setelah memastikan Alaska sudah masuk ke dalam gedung sekolah, Zayn akhirnya keluar.

Hari itu Zayn mengenakan kaus polo putih dan celana jins. Ia tidak memakai jaket polonya karena, yah, benda itu sudah jadi milik orang sekarang. Sepertinya Zayn akan membeli jaket seperti itu lagi karena ia benar-benar nyaman memakainya.

“Zayn Malik,” gumam Iris.

“Ada yang bisa kubantu, Ms. Tomlinson?”

Iris berdecak. “Tidak usah formal,” gerutunya. “Aku mau to the point saja, oke? Buat apa kau kirim dua puluh ribu pound ke rekeningku?”

For him, She was.Where stories live. Discover now