Part 22

2.9K 306 135
                                    

Your gray tint eyes watching every move I make

And that feeling of doubt, it’s erased

I’ll never feel alone again with you by my side

You’re the one and in you I confide more

And we have gone through good and bad times

But your unconditional love was always on my mind

You’ve been there from the start for me

And your love’s always been true as can be

Avenged Sevenfold—Warmness On The Soul

***

“Jadi, kau benar-benar tinggal di dekat sini?”

Zayn memelankan langkahnya, menyamakan langkah besarnya dengan langkah kecil Katya selagi mereka berdua berjalan beriringan di taman sembari memakan eskrim.

Hari itu hari Kamis dan udara belum terlalu membeku. Zayn lagi-lagi mengambil penerbangan pertama dari London ke Manchester hanya agar mereka berdua bisa berjalan-jalan santai di taman, sembari menikmati udara yang cerah.

Katya tidak jauh berbeda dari terakhir kali Zayn bertemu dengannya 6 tahun lalu. Gaya berpakaiannya masih sama. Begitu pula gaya berbicara dan gaya berjalannya. Hanya rambutnya saja yang sedikit berbeda.

Zayn menghabiskan es krimnya dalam dua gigitan besar. Ia tentu tidak bisa bilang bahwa ia sebenarnya tinggal di London, jadi ia memutuskan untuk berbohong. “Begitulah.”

Katya menemukan sebuah kursi taman panjang yang kosong, lalu mengisyaratkan Zayn untuk duduk di sampingnya.

“Kalau kau memang benar-benar tinggal di dekat sini, kenapa aku tidak pernah melihatmu?”

Zayn tersenyum geli. “Memangnya kau harus terus melihatku?” tanyanya ringan. “Aku sibuk, kau tahu. Lagipula, Manchester itu besar. Kau tidak setiap hari menjelajahi seluruh penjuru Manchester hanya untuk mencariku, kan?”

Katya bersungut-sungut. “Kau ini.”

Nah, ini terasa seperti dulu. Zayn selalu senang menggoda Katya karena ujung-ujungnya cewek itu bakal mengalah dan membiarkannya menang. Ternyata walaupun Katya tidak ingat padanya, sifat mengalahnya yang lugu itu tidak hilang.

“Omong-omong,” Katya berkata, pastinya untuk mengalihkan topik, “waktu itu kau bilang kau adalah pemain sepak bola. Kau bermain untuk klub mana?”

Hampir-hampir Zayn menepuk dahinya. Kalau ia berkata pada Katya ia bermain untuk Chelsea, otomatis Katya tahu bahwa ia seharusnya tinggal di London, bukan di Manchester. Zayn tidak mungkin berbohong dan mengatakan kalau ia bermain untuk Manchester City atau Manchester United.

Tepat ketika Zayn kehabisan ide untuk menjawab, seseorang menelponnya. Zayn cepat-cepat merogoh sakunya, lalu melihat caller ID.

Jose Mourinho.

Sembari mengerutkan dahi, Zayn izin kepada Katya untuk mengangkat telpon, lalu berjalan sedikit menjauh.

“Halo?”

“Zayn Malik, kuharap kau tidak lupa kalau hari ini ada latihan jam 12 siang di lapangan Cobham.”

Latihan? Di Lapangan Cobham? Latihan ap—oh!

Zayn cepat-cepat melirik jam tangannya. Saat itu jam 9.18 pagi. Butuh waktu 1 setengah jam perjalanan dari Manchester ke London, dan butuh waktu 20 menit dari tempatnya sekarang ke bandara. Kebetulan, Zayn hari itu ­benar-benar tidak membawa barang-barang. Ia bahkan tidak menyewa hotel.

For him, She was.Where stories live. Discover now