Part 11

3K 306 50
                                    

I never asked you to be perfect—did I?

Though often I’ve called you sweet

In the invasion of mastering love

I never prayed that you might stand

Unsoiled, angelic, and inhuman

Pointing the way toward Sainthood like a sign-post

—Siegfried Sassoon, The Imperfect Lover

***

“Apa kabar, Zayn?”

Zayn menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa yang tengah ia duduki, sementara tangan kanannya memegang secangkir americano favoritnya yang masih panas.

Pagi itu dia kedatangan seorang teman—Petr Cech—yang rela terbang dari Swiss ke London hanya untuk menanyakan kabar Zayn.

Sejujurnya, Zayn merasa baik-baik saja. Dua minggu lalu Alaska memang masuk rumah sakit dan membuat Zayn sedikit panik, tetapi sekarang Alaska sudah baik-baik saja, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali.

“Baik-baik saja,” gumam Zayn sembari menyesap kopinya. “Kau sendiri?”

Petr tersenyum samar. “Kalau kau merasa begitu,” ia mengangkat bahu. “Aku baik-baik saja. Sibuk mengelola klub dan semacamnya. Sibuk mencari sponsor. Sibuk menjadi kiper pelatih. Tapi baik-baik saja.”

Zayn mengangguk tanda mengerti.

“Jose akan bergabung denganku musim depan,” kata Petr.

Zayn meletakkan cangkir kopinya, kemudian merubah posisi duduknya dari bersandar menjadi tegak.

“Ke Swiss?”

Petr mengangguk. “Dia sudah memberi tahumu, kan?”

“Ya, memang,” Zayn mengangguk. “Tapi aku tidak menyangka bakal secepat ini. Maksudku.....musim depan. Hanya beberapa bulan lagi.”

Petr tersenyum penuh simpatik.

“Kalau begitu, aku akan pindah ke Swiss musim depan.”

Petr mengangkat sebelah alisnya. “Tidak, tidak,” ia menggeleng. “Masa depanmu masih cerah disini, Zayn. Gajimu bagus, kontrakmu juga pasti akan diperpanjang. Kalau kau pindah ke Swiss, belum tentu semuanya akan seperti sekarang.”

Zayn tahu itu benar. Ia tidak tahu apa yang akan datang menghadangnya saat di Swiss nanti. Mengelola klub tidak semudah bermain dalam sebuah klub. Zayn yakin dia bakal banyak mengalami krisis, terutama di bidang keuangan.

Saat itu, Zayn memiliki banyak uang. Setelah 8 tahun sukses di karir sepak bola profesional-nya, uang Zayn sudah tidak bisa dihitung lagi. Apalagi Zayn termasuk tipe orang yang tidak mempedulikan gaya hidup.

Zayn yakin ia bisa mengelola sebuah klub.

“Ditambah lagi, aku tidak yakin kau ingin meninggalkan London,” Petr berkata lagi. “Aku tahu kota ini berarti banyak untukmu.”

Zayn mengangguk. “Kau benar.”

Sekali lagi, Zayn menyesap kopinya yang sudah berubah dingin. Saat itu Zayn berusaha keras untuk tidak ke mini market terdekat dan membeli sebungkus rokok, karena ia benar-benar ingin merokok.

Petr Cech mengangguk. “Omong-omong, bagaimana Alaska?”

“Baik,” Zayn tersenyum. “Benar-benar mirip ibunya.”

Dengan itulah, topik ditutup.

***

“Hai, Zayn.”

For him, She was.Where stories live. Discover now