Part 34

2.6K 293 47
                                    

"Kau tidak berhak mencampuri urusan keluargaku."

Zayn menghisap rokoknya dalam-dalam, membiarkan zat mematikan itu memenuhi setiap relung di paru-parunya. Kalau begini caranya, kira-kira dua puluh tahun nanti Zayn bisa jadi sudah mati karena kanker.

Ia menatap kosong langit dingin di atasnya. Pria di sampingnya ini ada benarnya juga. Zayn memang tidak berhak mencampuri urusan keluarganya. Tapi, apa yang Zayn harus lakukan? Duduk santai sembari menikmati hari, dikala tetangganya dipukuli seperti binatang?

"Aku bukannya mencampuri," kata Zayn. Sebisa mungkin nada suaranya tidak ditinggikan. "Aku hanya tidak ingin kau melanggar hak asasi siapa-siapa. Lihat Daisy dan Damon. Apa menurutmu mereka, yang kau sebut keluargamu, pantas kau perlakukan seperti itu?"

Ricardo malah tertawa.

"Oh, jadi kau bicara tentang hak asasi lagi. Memangnya kau siapa? Pengacara? Bukannya kudengar kau itu pemain bola? Apa ini yang kau dapat dari lapangan? Pelajaran 'pencampuri urusan orang lain' serta 'sok tahu dalam bidang yang tidak kau mengerti'—begitukah?"

Untungnya, Zayn memutuskan untuk sabar. Kalau ia memutuskan untuk sabar, artinya ia akan membalas dengan sesuatu yang pintar.

"Kau ingin tahu apa yang kudapat dari lapangan?" tanya Zayn. "Pelajaran terpenting yang kudapat dari lapangan adalah menghargai orang lain. Tidak peduli walaupun kita lebih hebat darinya. Dan tampaknya, kau tidak dapat pelajaran itu dari mana-mana, ya?"

Wajah Ricardo tampak merah padam lagi.

"Aku ingin Damon masuk sekolah hari Senin nanti," Zayn mematikan rokoknya. Ia tahu Ricardo hendak membantah, tetapi Zayn terus bicara. "Dan aku ingin, baik Damon maupun Daisy, tidak hidup dalam ketakutan lagi."

Lagi, Ricardo tertawa getir. "Damon adalah anakku, Malik," katanya tajam. "Kau tidak berhak mengaturku tentang apa yang harus kulakukan pada keluargaku."

"Aku tidak mengatur. Aku hanya membantu Damon dan Daisy mendapat haknya masing-masing. Damon berhak pergi ke sekolah dengan menuntut ilmu, dan mereka berdua berhak hidup tenang tanpa ancaman. Terutama ancaman darimu."

Ricardo memandang Zayn remeh. "Jangan—"

"Oh, dan satu lagi," Zayn berhenti sebentar, memotong balasan Ricardo. "Kau bilang apa tadi? Damon itu anakmu, ya benar. Tapi mungkin kau tidak tahu, kalau ternyata tidak semua orang boleh punya anak."

***

Katya sedang berlari kecil menuju flatnya di tengah badai salju yang lumayan kencang di luar. Ia memang pulang sedikit terlambat malam itu, karena ia harus menangani pasien di unit gawat darurat karena Dr. Stacy dan Dr. Miller sedang berhalangan hadir.

Sembari mengencangkan mantel tebalnya, Katya mengorek isi tasnya untuk mencari kunci pintu depan. Katya henda memasukkan kunci ke lubang kunci ketika tiba-tiba seseorang yang sedang duduk di undakan teratas dekat pintu depan itu membuat napasnya terhenti.

Katya bahkan menjatuhkan kuncinya.

"Maaf," gumamnya.

Sebelum Katya menunduk untuk mengambil kunci itu, seseorang itu sudah mengulurkan tangannya yang telanjang lalu menyerahkan kunci kepada Katya. Ketika ia mendongak, barulah Katya menyadari bahwa itu Zayn.

"Hai," sapa Zayn. Ia berdiri, kemudian menepuk belakang celananya untuk membersihkan sisa-sisa salju yang menempel. "Kau baru pulang rupanya."

Katya masih terlalu takjub untuk berkata-kata. "Kau duduk disini?" tanyanya. Zayn mengangguk. "Sejak kapan?" ia bertanya lagi.

For him, She was.Where stories live. Discover now