Part 23

2.9K 312 101
                                    

"Faith is taking the first step even when you don't see the whole staircase."—Martin Luther King, Jr.

***

Dalam sebulan itu, Zayn bolak-balik London-Manchester kira-kira 8 kali.

Perjalanan jauh yang singkat itu tentu menghabiskan waktu dan tenaganya. Seringkali Zayn masih di Manchester jam 12 siang, sedangkan jam 3 sore ia sudah harus sampai di London untuk latihan. Dan saat-saat seperti itulah yang paling menguras tenaganya.

Akibatnya, sekarang Zayn malah terkapar tak berdaya di tempat tidurnya. Sekujur tubuhnya pegal-pegal. Ia menggigil dan tampaknya badannya juga panas.

Tetapi, tentu saja semua itu sepadan. Zayn jadi sering bertemu dengan Katya. Pernah satu kali ia menghampiri Katya di rumah sakit untuk mengajaknya makan siang. Kadang Katya yang menelpon Zayn, meminta menemaninya makan siang.

Katya tidak pernah menyinggung-nyinggung soal 'apakah aku mengenalmu' lagi. Alih-alih, ia malah bertanya banyak soal Zayn. Keluarganya, teman-temannya. Karena Katya tidak pernah bertanya dimana tepatnya Zayn tinggal atau dengan siapa, Zayn mengansumsikan Katya tidak tahu apa-apa.

Zayn menghela napas panjang sembari memejamkan mata.

Hari itu Selasa. Zayn tahu harusnya ia mengantar Alaska sekolah tadi pagi, tetapi karena kondisinya yang tidak mungkin untuk menyetir, Zayn meminta tolong tetangga barunya yang kebetulan punya anak yang satu sekolah dengan Alaska untuk mengantar Alaska ke sekolah.

Sebelum berangkat, Alaska mencium pipi Zayn sembari menggumamkan kalimat sejenis, "semoga cepat sembuh" di telinga Zayn.

Sekarang Zayn hanya sendirian di rumah, sakit, tidak bisa turun dari tempat tidur, dan lapar. Ia bisa saja menelpon layanan pesan antar makanan Cina di dekat rumahnya, tetapi tentu ia harus turun dari tempat tidur untuk membukakan pintu. Itu, adalah bagian tersulitnya.

Mungkin inilah alasan kenapa Aaron selalu mendesaknya untuk menikah lagi. Agar ada seseorang yang mengurusnya jika ia sedang tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Tepat seperti sekarang ini.

Sudahlah, Zayn memberi tahu dirinya sendiri. Meruntuki nasib juga tidak ada gunanya.

Setelah beberapa jam berlalu dan Zayn masih merasa selembek agar-agar, ia meraih ponselnya dengan susah payah lalu menghubungi rumah sakit untuk membuat janji dengan dokter langganannya. Baru setelah itu, ia menelpon Mr. Jackson—supir pribadinya—untuk mengantarnya ke rumah sakit.

***

Zayn menyuruh Mr. Jackson untuk menunggu di kantin rumah sakit selagi ia menemui dokter. Rumah sakit tidak terlalu ramai hari itu. Zayn dapat giliran kedua, yang artinya lumayan bagus. Di dalam ruangan pun ia tidak terlalu lama.

"Kau hanya lelah," putus Dr. Harries. "Dan sedikit flu karena perubahan musim. 3 hari istirahat akan mengembalikan tenagamu."

Walau begitu, Zayn harap dia tidak membutuhkan 3 hari untuk mengembalikan tenaganya. Dia butuh tenaganya sekarang.

Ketika Zayn sedang menebus obat, seorang pria yang usianya mungkin pertengahan 50-an berjas putih melintas di samping kanannya. Anehnya, wajah pria itu tidak asing buat Zayn. Zayn mengingat-ingat dimana....

Oh, benar. Itu Dr. Flynn—dokter yang membantu persalinan Alaska.

"Dr. Flynn," Zayn menyapa dengan formal tepat ketika ia berpapasan dengan sang dokter. Dr. Flynn menoleh cepat ke asal suara, lalu matanya melebar dengan horor ketika menatap Zayn. Zayn tahu ia mungkin pucat dan jelek, tetapi ia tidak tahu bahwa dampaknya akan seperti itu pada orang yang melihatnya. "Apa ada yang salah?"

For him, She was.Where stories live. Discover now