Part 18

2.9K 328 83
                                    

“This is not a goodbye, my darling, this is a thank you. Thank you for coming into my life and giving me joy, thank you for loving me and receiving my love in return. Thank you for the memories I will cherish forever. But most of all, thank you for showing me that there will come a time when I can eventually let you go.” –Nicholas Sparks, Message in a Bottle.

***

Iris sedang bersiap-siap untuk mengajar ketika Zayn menelponnya.

Pria itu—seperti biasa—meminta Iris untuk menjaga Alaska selama beberapa hari, karena ia mempunyai sedikit ‘bisnis’ di luar kota yang tidak bisa ditinggalkannya.

Iris menyanggupi bukan karena Zayn, tapi karena Alaska. Karena Iris senang berada di dekat Alaska, dan karena Iris menikmati setiap momen yang dihabiskannya bersama Alaska. Begitulah kira-kira Iris memberitahu dirinya sendiri.

Zayn pergi besok pagi, jadi nanti siang setelah Iris selesai mengajar, Iris akan ke rumah Alaska untuk mengambil barang-barang yang diperlukan Alaska untuk menginap di rumah Iris karena Iris tidak mau menginap di rumah Alaska.

Sebenarnya sore itu Iris ingin mengunjungi Harry di bengkelnya. Sudah cukup lama Iris tidak main kesana, dan sejujurnya ia merindukan suasana bengkel Harry. Ia juga merindukan Jamie dan Arthur, dua asisten Harry.

Setelah menatap layar ponselnya cukup lama, Iris menarik napas dalam-dalam dan masuk ke dalam kelas.

“Selamat pagi semuanya,” katanya dengan ceria. “Ada yang tahu kita akan belajar apa hari ini?”

***

“Mr. Maguire.”

Aaron mendongak untuk menatap atasannya, kemudian ia tersenyum penuh rasa bersalah. “Sir.”

Atasannya—Komandan Stevenson—baru saja memanggilnya untuk bertanya tentang misi penting sepulang Aaron dari Dubai. Aaron sangat tertarik dengan misi ini. Misi ini penting, sebentar, dan berbahaya.

Tetapi ia sudah memutuskan bahwa ia tidak akan mengambil apa-apa yang menyebabkannya meninggalkan Cassie selama berbulan-bulan lagi. Tidak melihat Cassie membuatnya uring-uringan. Aaron berani bertaruh, Cassie juga merasakan hal yang sama.

Walaupun Komandan Stevenson mengutus Aaron pergi memimpin misi, Aaron berhak menolak. Bagaimanapun juga, pangkat Aaron hampir setara dengannya. Dan untuk kali pertama, Aaron menolak.

Setelah Komandan Stevenson berjalan menjauh, Aaron meninggalkan koridor yang gelap itu. Sepatu boot hitam kulitnya yang ia gunakan hari itu membuat suara langkahnya menggema di sepanjang koridor.

Aaron berbelok ke kanan lalu jalan terus, sampai ia menemukan pintu keluar, tempat dimana calon-calon prajurt angkatan udara sedang dilatih. Hari itu sedang ada pelatihan menggunakan pesawat tempur, yang tentunya dilakukan di lapangan terbang.

“Smith!”

Aaron berteriak kepada temannya—Eugene Smith—yang sedang berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. Pria itu menyipitkan matanya ketika melihat Aaron, lalu dengan cepat menghampiri Aaron.

“Komandan,” katanya. “Ada apa?”

Aaron mengibaskan tangannya. “Jangan panggil aku begitu,” gumamnya. Smith hanya tersenyum seadanya, lalu Aaron melanjutkan, “Kau kutunjuk sebagai pemimpin misi berikutnya. Oke?”

Raut wajah Smith berubah terkejut. “Maksudmu?”

“Aku tidak bisa mengikuti misi ini, Smith,” gumamnya. “Sudah banyak misi yang kuikuti. Aku sudah bisa menolak ketika diberi misi. Nah, sekarang, karena aku tidak bisa memimpin misi ini, kau kutunjuk sebagai penggantiku.”

For him, She was.Where stories live. Discover now