Part 15

2.9K 288 26
                                    

Sementara Cassie sedang membacakan cerita pengantar tidur untuk Alaska, Aaron memutuskan untuk duduk di depan televisi yang menyala.

Ia memikirkan kembali percakapannya dengan Zayn akhir-akhir ini. Selalu topik yang sama. Topik yang Zayn selalu berusaha hindari.

Sudah jelas bahwa Aaron ingin Zayn menikah lagi. Pria itu terlalu larut dalam kesedihannya, padahal sudah 6 tahun berlalu. Memang awalnya sama-sama berat baik untuk Aaron, maupun untuk Zayn. Bedanya, Aaron memutuskan untuk melanjutkan hidup, sedangkan Zayn tidak.

Aaron sudah banyak mendengar cerita tentang Zayn dari Cassie. Zayn yang ini, Zayn yang itu, Zayn yang bla bla bla. Tapi tidak pernah sekalipun Cassie menceritakan kepada Aaron bahwa Zayn punya cewek. Atau setidaknya, dekat dengan cewek.

Baru kemarin saja saat di rumah sakit, Aaron tidak sengaja bertemu seseorang yang mungkin sedang dekat dengan Zayn. Iris, kalau tidak salah begitulah Zayn menyebutnya. Cewek itu muda, menurut Aaron, cantik, dan sepertinya peduli pada Alaska.

Padahal menurut Aaron, Zayn bisa saja mendekati Iris karena tampaknya Iris juga tidak keberatan kalau didekati Zayn. Entah Zayn sudah mulai atau belum—Aaron tidak tahu. Ia hanya berharap Zayn bisa melanjutkan hidup seperti dirinya.

Kehilangan Katya bukan hanya berat bagi Zayn. Tentu, bagi Aaron juga. Aaron adalah kakak Katya yang selalu ada disaat Katya membutuhkannya. Katya adalah satu-satunya cewek di dunia yang dia sayangi, sebelum dia bertemu Cassie.

Tetapi Aaron tidak bisa berduka selamanya. Dan tampaknya, itulah yang harus Zayn tanamkan di otaknya.

Kita tidak bisa berduka selamanya.

Aaron tahu bahwa hari itu adalah tepat 6 tahun mereka semua kehilangan Katya. 6 tahun berlalu begitu cepat. Banyak yang sudah Aaron capai dalam 6 tahun ini. Aaron merasa sukses, dan ia harap Katya ada untuk menikmati kesuksesannya bersamanya.

“Hai.”

Cassie menghampaskan tubuhnya di atas sofa, tepat di sebelah Aaron. Mata hijaunya berbinar senang saat menatap Aaron, membuat Aaron tidak bisa tahan untuk tidak beringsut mendekat dan menciumnya.

“Omong-omong, hari ini tepat 6 tahun,” Cassie bergumam pelan. “Apa menurutmu sebaiknya kita membawa Alaska berziarah besok pagi?”

Aaron tersenyum tanda setuju. “Tentu, kenapa tidak?”

Setelah lama terdiam, pelan-pelan Cassie menyandarkan kepalanya ke bahu Aaron. Aaron lalu menarik Cassie mendekat ke arahnya.

“Aku keluar dari misi perdamaian dunia.”

Cassie mendongak untuk menatap Aaron sekilas, kemudian kembali ke posisinya semula. “Kau sudah sering mengatakannya,” gumam Cassie. “Dan ujung-ujungnya kau bakal tetap pergi.”

“Aku benar-benar berhenti,” Aaron tersenyum kecil. “Benar-benar berhenti.”

Kali ini Cassie menjauh darinya. “Kenapa?”

“Aku sadar selama ini aku hampir tidak pernah punya waktu untukmu,” gumamnya. “Sejak kita menikah 4 tahun lalu, kalau dihitung-hitung, mungkin hanya satu tahun kita benar-benar bersama. Dan aku tidak mau seperti itu.”

“Aaron...”

“Kau istriku, Cassie, dan kau berhak atas seluruh waktu dan perhatianku,” katanya lagi. “Aku tidak akan meninggalkanmu, tidak akan membuatmu khawatir, tidak akan membuatmu sulit tidur setiap malam. Tidak lagi.”

Cassie tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya memeluk pinggang Aaron, menyembunyikan wajahnya di dada Aaron yang bidang, lalu mulai menangis.

***

For him, She was.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang