Part 16

2.9K 270 32
                                    

Zayn mulai memikirkan ‘seandainya’ lagi.

Seandainya Katya tidak memutuskan untuk meninggalkannya 6 tahun lalu, seandainya Katya ada disana, seandainya ia tidak pernah bertemu Katya, dan seandainya ia tidak pernah bertemu Iris.

Zayn hampir selalu memainkan lagu-lagu seram—Mozart, Beethoven, Chopin, ciptaan mereka yang merupakan favorit Zayn adalah lagu-lagu seram. Dan Zayn tahu kenapa lagu itu seperti itu.

Ketika Zayn sudah menyelesaikan lagunya, ia bisa mendengar Iris bertepuk tangan.

“Mozart, Fantasia,” gumam Iris. “Aku tidak tahu kenapa kau memilih lagu itu.”

Zayn senang karena Iris mengenali lagu itu, jadi ia menyeringai. “Hanya terpikir secara spontan,” gumamnya. “Sekarang giliranmu.”

Dari jarak yang tak seberapa, Iris menatapnya. Mata cewek itu berwarna biru hampir sebiru samudera, dan cerah hampir secerah langit.

Iris mulai menekan tuts, mengisi ruangan itu dengan alunan indah permainan piano-nya. Lagu yang Iris mainkan sangat jauh berbeda dengan yang Zayn mainkan. Lagu ini sangat ringan, penuh keceriaan, dan anehnya, penuh harapan. Harapan baru.

Saat mendengarnya, Zayn bisa membayangkan ia sedang duduk di atas bukit dengan rumput yang hijau, dengan langit cerah di atasnya. Ia bisa membayangkan angin musim semi bertiup ke wajahnya, menyebabkan rambutnya acak-acakan.

Setelah lagu itu selesai, Zayn gantian bertepuk tangan.

“Aku tidak tahu lagu itu,” gumam Zayn.

“Tentu saja kau tidak tahu,” Iris menjawab dengan sangat pelan, hampir-hampir Zayn tidak mendengarnya.

Zayn mengerutkan dahinya. “Kenapa kau berkata begitu?” tanyanya. “Aku mungkin memang menyukai lagu klasik yang seram, tapi aku tahu beberapa lagu baru dan—“

“Aku membuatnya.”

Kerutan di kening Zayn makin dalam, tetapi perlahan-lahan senyumnya mengembang.

“Kau membuatnya?” tanya Zayn tidak percaya.

Iris menghela napas, lalu mengangguk. “Yah, sebenarnya cuma coba-coba,” gumamnya. “Aku tidak tahu hasilnya bakal sejelek itu.”

“Menurutku lagunya bagus.”

Iris hanya melirik Zayn sekilas, kemudian matanya terpusat pada piano di hadapannya. Zayn yakin sebenarnya Iris ingin mengatakan sesuatu tetapi entah kenapa cewek itu tetap terdiam.

Setelah itu mereka berdua terdiam.

Hujan masih mengalahkan suara televisi yang Zayn biarkan menyala. Rasanya bahkan hujan selalu bertambah besar dan bertambah besar lagi. Zayn jadi ingin tahu apakah diluar sedang ada badai.

“Kau mungkin mau ganti baju,” Zayn berbicara setelah agak lama terdiam. “Kau terlihat cantik di baju itu, tapi mungkin kau merasa tidak nyaman atau apa.”

Iris masih menunduk. “Tapi aku kan akan segera pulang.”

“Sepertinya cuaca berkata lain.”

Ketika Zayn menyelesaikan kalimat itu, guntur menyambar di langit, membuat Iris terlonjak kaget. Suara guntur disertai hujan yang semakin deras, dan angin yang tampaknya juga semakin kencang.

Iris mendongak untuk menatap Zayn, lalu menghela napas resah. “Aku tidak bawa baju ganti,” gumamnya.

Zayn memberi isyarat kepada Iris untuk menunggu sementara ia berjalan ke arah kamarnya untuk mengambil sepotong baju hangat yang menurutnya kecil.

For him, She was.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang