Part 36

3K 300 115
                                    

Iris mengagumi restoran tempat Harry membawanya.

Restoran itu bergaya Skandinavia, dengan meja-meja bulat yang disusun beraturan sesuai dengan pola, langit-langit tinggi, serta kaca jendela besar. Tak lupa, hampir semuanya menggunakan kayu berwarna cerah. Lantainya, mejanya, lis jendelanya.

Mereka duduk di kursi dekat jendela. View-nya kebetulan menghadap ke sebuah air mancur kecil di luar. Menurut Iris, makan malam ini terlalu romantis untuk ukuran mereka berdua yang notabene biasa makan di kaki lima.

"Jadi, kau memang benar-benar dapat voucher, kan?" Iris memastikan, selagi pelayan yang tadi mengantar mereka pergi dan membiarkan mereka memilih makanan. "Karena kalau tidak, sepertinya uangku tidak akan cukup untuk membayar."

Harry tertawa. "Aku benar punya voucher, kok," sahutnya. "Lagipula kalau aku tidak punya voucher sekalipun, aku yang akan bayar karena aku  yang mengajakmu."

"Dan kau pikir aku akan membiarkanmu membayar semuanya?"

Harry tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil sebelum menatap buku menu di hadapannya. Sembari membolak-balik halaman dengan bosan, Harry bertanya, "kau mau pesan apa?"

"Sepertinya aku ingin coba Øllebrød." Iris menunjuk sebuah gambar. Semua makanannya terdiri dari makanan tradisional skandinavia yang tidak begitu dikenalnya, jadi Iris memilih satu makanan random dan berharap rasanya tidak seperti muntah. "Ada saran lain?"

"Kurasa yang paling terkenal itu salad timun," Harry mengangkat bahu. "Tidak benar-benar tahu makanan skandinavia, sih. Sepertinya aku ingin makan salmon saja."

Setelah mereka memutuskan apa yang akan dipesan, Harry memanggil pelayan untuk mencatat pesanan mereka. Pelayan itu lalu pergi sembari mengambil buku menu, menyuruh mereka menunggu beberapa menit.

"Teman kakakmu keren sekali," Iris bergumam sembari memperhatikan sekelilingnya dengan takjub, "punya restoran seperti ini."

Harry jadi ikut memperhatikan sekelilingnya juga. "Yah, sebenarnya bukan teman kakakku Cassie, tapi teman kakakku Aaron—suami Cassie. Dia kenal banyak orang, sih. Tapi, kau benar. Pengunjungnya lumayan juga untuk restoran yang baru buka."

Iris hanya mengangguk-angguk. Sedaritadi yang dilihatnya hanyalah pasangan-pasangan yang memakai pakaian bagus, duduk anggun di kursinya sembari mengobrol dengan pasangan di hadapannya.

Bukannya Iris merasa ia memakai sesuatu yang jelek. Harus Iris akui sendiri, dress-nya lumayan. Kalau ada sesuatu yang membuat dress-nya jelek, itu adalah dirinya sendiri. Dan Harry sendiri lumayan. Dia memakai kemeja hitam, celana hitam panjang, dan sepatu.

Tidak salah, sih. Tempat ini memang sangat cocok untuk berkencan. Suasananya terbilang romantis. Restoran ini juga termasuk restoran kelas menengah ke atas, dimana orang-orang harus berpakaian rapi.

Tapi, Iris tidak suka tempat makan seperti ini. Iris cenderung lebih suka tempat makan dimana ia bisa memakai apapun yang disukainya, termasuk kaos band rock favoritnya yang dipadukan dengan celana jins belel kesayangannya. Iris ingin sesuatu yang normal-normal saja.

"Iris," tiba-tiba Harry memanggilnya, membuat Iris tersadar dari lamunannya. "Sebenarnya aku ingin bilang sesuatu."

Iris terdiam. "Tapi?"

"Tapi aku bingung harus mulai darimana."

"Mulai dari intinya saja supaya cepat," Iris bergurau, tetapi Harry tersenyum pun tidak. Iris jadi punya firasat Harry akan mengatakan sesuatu yang serius.

"Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan sejak lama."

Iris merasa jantungnya berhenti berdetak. Ia menatap Harry dalam-dalam, tahu kemana arah pembicaraan ini berjalan.

For him, She was.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang