Part 39

3.1K 329 96
                                    

Katya duduk di hadapan Zayn, matanya kosong.

Kemarin, Candace membeberkan semuanya kepada Katya tentang apa-apa saja yang ia ketahui, yang kebetulan tidak dapat diingat oleh Katya. Candace membeberkan semua tentang Zayn, tentang pernikahan mereka.

Di akhir kalimat, Candace bertanya, "kau benar-benar tidak mengingat Zayn, Kat?" dengan nada bingung, campur kaget, campur sedih, campur entah apalagi.

Tentu, tentu Katya Zayn. Katya sedikit-sedikit ingat tentang Zayn. Katya bahkan ingat suara Zayn. Yang jadi masalah adalah, Katya tidak ingat bahwa ia pernah menyukai Zayn.

Kenyataan bahwa Zayn ternyata suaminya membuat semuanya jelas. Katya dulu menyukai Zayn, mungkin lebih. Dan tampaknya, Zayn juga sebaliknya. Tapi, Katya benar-benar tidak merasakan apa-apa sekarang, selain menganggap bahwa Zayn hanyalah pria yang baik.

Sekarang, kalau sudah begini, apa yang harus dikatakannya? Bilang saja, 'Zayn, maaf, ya. Kita memang pernah menikah. Tetapi berhubung aku tidak ingat padamu, bisakah kita tidak seperti orang menikah'—begitukah?

"Aku hanya ingin mendengarnya darimu," kata Katya. "Tentang itu, maksudku. Kalau sejak awal aku tahu, mungkin ada banyak hal yang kita bisa.....diskusikan."

"Diskusikan," Zayn mengangguk. "Kau seperti sedang ingin meminta cerai."

Katya menggeleng. "Tidak, bukan begitu," gumamnya. "Maksudku, kita bisa bicarakan mengenai semuanya."

"Sekarang, kau sudah tahu. Apa saja yang ingin kau bicarakan?"

Katya terdiam, berpikir. Apa yang ingin ia bicarakan?

Katya tidak ingin Zayn menyentuhnya. Lagipula, tanpa Katya bilang pun, Zayn memang tidak pernah menyentuhnya. Setidaknya, tidak selama yang dia ingat. Katya tidak ingin....apa? Katya bahkan tidak tahu apa yang dia ingin dan tidak inginkan.

"Aku ingin tahu apa yang kau inginkan."

Zayn terlihat berpikir sedikit. "Apa yang kuinginkan?" gumamnya. "Simpel saja. Aku hanya ingin Alaska kenal dengan ibu kandungnya. Aku ingin Alaska punya ibu."

"Aku akan menjadi ibunya," kata Katya. "Karena aku memang ibunya, kan?"

Zayn tidak menjawab.

"Jadi, kau mau kita bagaimana?" Katya bertanya lagi.

Zayn lagi-lagi tertawa getir. "Kenapa kau bertanya itu kepadaku?" tanyanya. "Bukankah harusnya kau tanyakan itu kepada dirimu sendiri?"

"Zayn.."

"Kat, keputusan ada ditanganmu."

"Kenapa?"

"Kenapa?" Zayn tersenyum kecil. "Karena aku selalu jadi orang yang menyayangimu lebih, tak peduli kau ingat padaku atau tidak. Dan itu menjadikan semua keputusan ada ditanganmu, karena apapun yang kau inginkan, aku tidak akan bisa bilang tidak."

Katya menggigil. "Aku ingin coba."

"Coba apa?"

"Jalani seperti...." Katya berhenti, menimbang-nimbang sebentar apakah keputusan ini adalah keputusan yang paling baik. "Seperti dulu. Seperti aku yang dulu."

"Kau tidak perlu jika kau tidak ingin."

"Aku ingin," Katya bersikeras. "Aku hanya ingin ingat semuanya, Zayn. Bukan hanya kau yang menderita akibat semua kekonyolan ini—aku juga."

Zayn mengangguk. "Oke," gumamnya. "Kau ingin tinggal bersamaku?"

Katya mengangguk dengan ragu-ragu.

For him, She was.Where stories live. Discover now