Part 4

3.6K 350 39
                                    

Habis dari London Eye, Zayn mengajak Alaska ke Musical Museum, sebuah tempat yang sebenarnya ia belum pernah datangi juga. Zayn tidak tahu sejak kapan ia suka musik. Sepertinya ia mendadak suka karena ia butuh sesuatu yang bisa....menenangkannya.

Di sebuah kaca panjang di galeri utama, Zayn dapat melihat pantulan dirinya dengan jelas—kaus putih, jaket polo hitam, sandal jepit, dan rahang yang rapi. Zayn memang sengaja bercukur tadi pagi. Entahlah, ia hanya ingin.

Alaska menarik tangannya ke setiap tempat yang dianggapnya menarik. Zayn menemukan dirinya dengan senang hati mengikuti kemanapun Alaska berlari, dan karena langkah kaki Alaska sama sekali bukan tandingan Zayn, Zayn mengikutinya tanpa kesulitan.

Zayn hanya mengenali beberapa pianis saja—Mozart, Beethoven, Chopin—walaupun ia mengetahui nyaris sebagian dari lagu-lagu yang diputar. Swan Lake, Simfoni No. 5, Simfoni No. 9, Nocturnes, dan yang lainnya.

“Dad, dad!”

Zayn menoleh.

“Bukankah itu Ms. Tomlinson?”

Butuh waktu bagi Zayn untuk benar-benar mengenali si cewek yang memakai kemeja kotak-kotak, celana jins hitam panjang, dan tas selempang ini sebagai Iris—Ms. Tomlinson, persetan, yang mana sajalah.

“Ms. Tomlinson!” Alaska berteriak.

Iris menatap ke arah mereka dengan tatapan yang aneh. Awalnya ia tersenyum kecil saat menatap Alaska, tetapi begitu kedua mata biru itu menatap Zayn, tatapannya berubah. Zayn jadi bertanya-tanya apakah orang ini membencinya atau apa.

“Daddy, lihat! Itu Ms. Tomlinson! Hai, Ms. Tomlinson!”

Alaska berlari kecil untuk menghampiri Iris, jadi Zayn mengikutinya dari belakang. Zayn menatap Iris lekat-lekat walaupun Iris tampaknya menolak untuk bertemu pandang dengannya.

“Ms. Tomlinson sedang apa?” tanya Alaska.

“Sedang jalan-jalan saja,” Iris menjawab, kemudian tersenyum. “Alaska sendiri sedang apa?”

“Sedang jalan-jalan dengan daddy,” jawab Alaska ceria. “Tadi aku dan daddy habis dari London Eye, lalu kami kesini.”

Iris mengangguk-angguk. “Oh, begitu.”

Kedua mata Iris bertemu dengan mata hazel Zayn. Zayn tidak berusaha untuk mengalihkan pandangan, dan sepertinya Iris juga terlalu terkejut untuk mengalihkan pandangan karena cewek itu masih menatapnya selama beberapa detik.

“Alaska,” gumam Zayn. Suaranya lebih berat, lebih datar, dan lebih dingin dari yang ia harapkan sebelumnya. “Kita belum makan siang. Makan dulu, ya?”

Alaska menatap Iris. “Ms. Tomlinson mau ikut makan bersama kami?” tanyanya ceria.

Iris tidak terlihat senang.

“Aku, err, sudah makan.”

Alaska cemberut. “Ah, tidak apa-apa,” katanya kemudian. “Ikut makan bersama kami, ya, Mr. Tomlinson? Kumohon?”

Sekali lagi, Iris menatap Zayn, meminta pertolongan. Zayn mengangkat bahunya. Ia menyiratkan ‘turuti saja kemauan Alaska’ dalam pandangannya, entah deh, Iris mengerti atau tidak.

“Oke, deh.”

Setelah Iris setuju, Alaska langsung menggandeng Iris. Zayn tersenyum melihat bagaimana Alaska bisa sangat bahagia, padahal ia tidak merasa Alaska sebahagia itu ketika menggandengnya.

Zayn lalu membawa dua cewek di belakangnya itu ke dalam mobil, dan tidak terkejut sama sekali ketika Iris memilih untuk duduk di kursi belakang.

***

For him, She was.Where stories live. Discover now