Part 5

3.3K 351 18
                                    

Zayn selesai talkshow sekitar jam 11 malam.

Setelah si host puas mengorek-ngorek tentang kehidupan pribadinya, bertanya masalah yang sebenarnya Zayn tidak ingin ungkit-ungkit lagi, Zayn memutuskan sebaiknya ia menyudahi semuanya. Ia tidak ingin si host bertanya lebih lanjut.

Zayn tidak ingin si host mengetahu tentang Katya. Tentang ‘Katya, istri dari Zayn Malik seorang pemain sepak bola terkenal, meninggal karena melahirkan anak pertamanya’ dan yang lainnya. Ia tidak ingin semua orang tahu tentang Katya.

Mungkin berbeda seandainya Zayn yang meninggal. Seandainya Zayn yang meninggal, tidak ada yang dapat menutup-nutupi kematiannya. Seluruh Eropa bakal tahu kalau Zayn Malik meninggal. Bahkan mungkin seluruh dunia.

Tetapi, ini Katya. Mungkin kematian Katya tidak berpengaruh pada dunia karena menurut dunia, Katya hanyalah bagian kecil dari dunia itu sendiri. Tapi buat Zayn berbeda. Karena Katya adalah bagian-nya. Bagian dari hidupnya. Bagian dari dunianya.

Sedih sekali.

Malam itu, Zayn menyetir sendirian keliling London. Ia ingin menghabiskan waktu sendiri dulu dengan menyusuri jalanan kota London yang sepi. Sepi membuat Zayn berpikir lebih jernih, walaupun sudah jelas apa yang ada dipikirannya.

Akhirnya Zayn memutuskan untuk menjenguk Katya di makam. Zayn memarkir mobilnya di trotoar, lalu berjalan masuk ke dalam makam yang sepi dan gelap tanpa membawa apa-apa.

Setelah berhasil menemukan tempat Katya diistirahatkan, Zayn berjongkok. Ia mengelus nama yang ia harap tidak akan pernah ia lihat tertulis di atas batu nisan itu dengan ibu jarinya.

“Hei,” sapa Zayn serak.

Zayn capek berjongkok, jadi ia duduk di atas tanah berumput yang kering.

“Aku kangen kau, kau pasti tahu,” gumam Zayn sambil tersenyum. “Tapi tidak apa-apa. Sepertinya bukan cuma aku yang rindunya tidak terbalas. Kau juga kangen padaku, kan?”

Kalau seandainya Katya masih ada disini dan berdiri di hadapan Zayn, Zayn yakin Katya akan tertawa sembari memukul pelan bahunya dan berkata, “kau ini percaya diri sekali.”

Hanya dengan membayangkannya, Zayn tersenyum.

“Aku benar-benar berharap kau ada disini,” katanya lagi. “Kau harus lihat Alaska. Dia sudah 6 tahun sekarang. Dan dalam usianya yang baru 6 tahun itu dia sudah jago bermain piano. Kau harus lihat Alaska, Kat. Dia sangat mirip denganmu.”

Hening.

“Kat,” Zayn bergumam, kali ini ia dapat merasakan suaranya lebih dalam. “You may only be a small part of the world, but you were part of my world. You are part of my world.”

Zayn bisa merasakan perasaan yang selalu mendatanginya saat nama Katya disebutkan. Saat ia ke makam. Saat melihat Alaska.

Zayn merindukan Katya.

Ia sendiri tidak tahu sudah seberapa besar rasa itu ada dan terpendam, yang jelas, semakin lama semakin terasa menyakitkan. Dan menyedihkan.

“I miss you,” gumamnya lagi.

Hening.

“I miss you until my stomach hurts,” Zayn bersuara lagi, kali ini ia memaksakan sebuah tawa ringan. “We know that my stomach rarely hurts. But it hurts, now.”

Zayn membiarkan keheningan dan kegelapan menyelimutinya. Ia ingat ketika mereka berada di bali—ketika mereka sedang duduk sehabis melihat sunset. Katya berkata ia suka menghabiskan waktu di kegelapan bersama Zayn.

Zayn tidak peduli bagaimana ia mengartikannya, yang jelas, ia juga suka menghabiskan waktu bersama Katya di kegelapan. Walaupun kini, hanya inilah caranya untuk menghabiskan waktu bersama Katya.

For him, She was.Where stories live. Discover now