23. Lebih Baik Fisiknya Yang Terluka

21 9 0
                                    

Lagi-lagi, beberapa hari kemudian, di dalam lemari pakaiannya, Sindy menemukan sebuah kotak kardus kecil yang ketika dibuka berisi sebuah pisau berdarah disertai foto-foto Aldino

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lagi-lagi, beberapa hari kemudian, di dalam lemari pakaiannya, Sindy menemukan sebuah kotak kardus kecil yang ketika dibuka berisi sebuah pisau berdarah disertai foto-foto Aldino. Bau dari darah itu membuat Sindy pening. Ingin muntah.

Kalau kemarin adalah darah kering, kali ini darah masih basah dalam wujud kental. Bau amisnya sangat menusuk hidung. Dengan gemetar Sindy membuang benda itu dan berlari ke kamar mandi.

Posisi Sindy saat itu sendirian di rumah. Orang tuanya pergi meeting, dan Tara entah berada di mana. Sindy memuntahkan semua isi perutnya sampai lemas. Dia terjatuh ke lantai.

Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya gemetar. Kepalanya pening. Sindy sangat ketakutan melihat pisau yang berlumuran darah itu. Seolah belum menyerah, Tara semakin mengganggu kesehatan mentalnya.

••|••|••

Keesokan harinya, Sindy memanggil kedua orang tuanya untuk meminta izin tidak berangkat sekolah. Rupanya dia demam. Sejak menghirup aroma darah kemarin membuat tubuhnya drop.

Namun, Sindy tidak menemukan keberadaan Marwan dan Ilona.

"Ma... Pa..." panggil Sindy dengan suara parau. Rasanya ingin muntah terus-menerus.

Tara turun dari lantai dua. Smirknya muncul melihat kondisi Sindy yang melemah. "Ngapain lo manggil-manggil Ma Pa begitu? Mau sampe kiamat juga nggak bakal diladenin lo," ucap Tara.

Sindy menoleh, Tara agak terkejut melihat wajah Sindy yang sangat-sangat pucat. "Mama sama Papa kemana?" tanya Sindy.

"Ke luar kota seminggu," jawab Tara.

Sindy terjatuh ke lantai. "Tar, gue minta tolong izinin ke wali kelas, ya. Gue sakit."

"Cih, ogah banget. Berangkat lo buruan gue tungguin!"

"Tapi, Tar-"

Tara menyeret Sindy, membawanya ke kamar mandi. Lalu dia menggerujuk tubuh Sindy dengan air hingga gadis itu menggigil. "Nggak usah nyusahin lo. Gue bilang berangkat ya berangkat!"

Sindy menangis diperlakukan seperti ini. "I-iya, Tar. Biar gue mandi sendiri. Dingin, Tara."

Tara mengambil botol sampo lalu menuangkan isinya ke kepala Sindy. "Mampus lo!!" Setelah itu dia melempar botol tersebut dan mengenai kepala Sindy hingga gadis itu nyaris pingsan.

Sindy merangkak berdiri sambil terhuyung-huyung. Matanya terkena sampo. Pedih. Sindy merasakan sakit hati luar biasa kepada Tara. Bisa-bisanya dia memperlakukannya begini.

Satu jam kemudian. Sindy keluar dari kamar dengan tubuh gemetar. Dia hendak memanggil Tara untuk memintanya menyetir, namun dia tidak mendapati siapa-siapa di rumah.

Rumahnya sepi. Dan ketika dia melihat ke garasi, mobilnya sudah tidak ada di sana.

Ya, Tara meninggalkannya.

Diary About Sindy •END• {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang