CHAPTER 1 : LAKI-LAKI DI ROOFTOP LANTAI TUJUH

278 16 3
                                    


~VIRGO~

Aku benci asap rokok. Namun sekarang, aku tengah berdiri menatap seseorang yang asyik merokok di sudut pelarianku. Lelaki dengan kemeja abu-abu muda yang lengannya digulung sampai siku itu sibuk menatap bangunan-bangunan yang saling adu tinggi di bawah teriknya matahari siang. Angin panas Ibukota sesekali menggerakkan rambutnya yang hanya diberi gel sedikit—untuk membuatnya tetap rapi sampai setidaknya jam pulang kantor. Wajahnya tak begitu terlihat dari tempatku berdiri, yang jelas aku yakin dia orang yang menyebalkan.

"Hei, itu tempat saya."

Entah dari mana keberanianku muncul yang jelas kalimat itu sudah meluncur dari mulutku. Laki-laki itu menoleh sambil menjentikkan rokoknya. Abunya rontok ke hamparan rumput sintetis dan membuatku melotot seketika. Aku bisa melihat wajahnya yang tampak begitu sombong menatapku. Tuh kan, dia orang yang menyebalkan.

Bukannya menanggapiku, laki-laki itu malah kembali memandang jalanan di bawah yang mulai padat. Sesekali dia menyesap rokok dan mengembuskan asapnya perlahan. Seolah tak ingin nikotin keluar cepat-cepat dari paru-parunya.

"Permisi?"

Laki-laki itu masih mengabaikanku. Lebih tertarik menikmati hembusan demi hembusan asap rokok yang baunya mulai merayap ke dalam rongga hidungku. Urgh, aku ingin muntah. Seharusnya aku bisa santai di sini, di tempat aku bisa melarikan diri dari atasanku yang menyebalkan, menikmati makan siang dan segelas kopi.

"Hei, jangan membuang abu rokok sembarangan!"

Aku sontak memekik ketika lelaki itu mematikan rokok dengan menginjaknya di rumput sintetis—membuatnya tampak sangat mengenaskan di sela-sela warna hijau pekat itu.

Tiba-tiba kaki panjang laki-laki itu melewati pagar besi pembatas yang memisahkan hamparan rumput sintetis dengan tembok semen pendek setinggi satu meter kurang. Di baliknya hanyalah aspal di lobi timur yang terlihat mematikan dari rooftop lantai tujuh kantor. Laki-laki itu berdiri di atas tembok pembatas dan meregangkan tangannya ke atas.

"Hei—Kamu mau apa!"

Aku panik dan otomatis berlari mendekatinya sampai ke pagar besi pembatas.

"Hei, kamu mau apa!" jeritku mulai kebingungan. Aku mencari seseorang yang bisa membantuku semisal laki-laki ini berniat yang tidak-tidak. Namun, tidak ada siapa pun di rooftop siang bolong begini. Oh, sial.

"Kamu mau mati ya! Cepat turun dari situ!" Aku masih berteriak ketika laki-laki itu menoleh.

"Kamu berisik sekali," ujarnya kembali menatap ke bawah, membuatku semakin emosi. Ujung sepatunya sudah tidak berada di tembok pembatas, melayang di udara bebas. Telapak tanganku mulai berkeringat hebat. Aku jelas tidak mau menjadi saksi mata seseorang lompat dari lantai tujuh gedung perkantoran. Atau buruknya, aku akan jadi tersangka pembunuhan!

"Turun dari situ! Kamu mau apa sih!"

Laki-laki itu mengedikkan bahu. "Lompat."

"Kamu gila!" Aku menjambak rambutku frustrasi. "Cepat turun atau saya panggil satpam!"

Laki-laki itu kembali mengedikkan bahu dan kini melongok ke sela kedua ujung sepatunya. Angin tiba-tiba berembus, membuat tubuh laki-laki itu agak oleng. Aku menjerit histeris dan tanpa pikir panjang aku melompati pagar pembatas. Mini A-line dress-ku sobek di jahitan sampingnya, tetapi aku tidak peduli. Bahkan pergelangan kakiku sedikit nyeri karena mendarat dengan posisi yang salah setelah melompat menggunakan heels tujuh sentimeter.

"Turun dari situ!" bentakku sengit.

Tanganku sudah tertancap di ikat pinggangnya karena aku tak bisa menggapai tangannya yang direntangkan ke depan. Laki-laki itu menoleh saking terkejutnya karena seseorang menarik ikat pinggangnya dari belakang.

Rooftop Secret [TAMAT]Where stories live. Discover now