CHAPTER 16 : MIMPI BURUK

21 7 0
                                    


~AOZORA~

Langit-langit kamarku tampak sedikit berbeda malam ini. Sepertinya aku harus menyalahkan Virgo karena mengajakku ke teater tadi. Hanya saja, aku tidak menyangka permainan kata yang kekanak-kanakkan dari girl group itu malah membuatku meneteskan air mata—yang Saskia sekalipun tidak pernah melihatnya.

"Sial!" Aku berbaring miring, berusaha memejamkan mata, tapi tetap saja gagal. Malah aku merasa sofa yang menjadi tempat tidurku selama ini terasa begitu keras, tidak nyaman, dan membuatku kesal.

Sebenarnya aku cukup terkejut ketika beberapa lagu dari girl group itu rasanya relate sekali denganku. Ditutup dengan lagu yang jelas-jelas menggambarkan kondisiku saat ini. Oh, kebetulan macam apa ini? Lirik lagu itu kembali terngiang-ngiang di telingaku sebelum akhirnya aku berhasil terlelap.

Sayangnya, mimpi itu datang lagi.

Rasa tanah yang pahit dan berbau anyir karena bercampur dengan darah yang keluar dari mulut, langsung kurasakan begitu aku membuka mata. Bukan langit-langit kamarku yang ada di depan mata, melainkan sebuah taman kecil yang sepi. Mataku mengarah ke tanganku yang kotor dengan tanah—itu tangan seorang anak kecil, bukan tangan orang dewasa yang hampir mencapai kepala tiga. Di depanku berdiri sosok yang cukup tinggi dan besar untuk anak seumurannya. Jeremy Bustami.

"Bangun! Jangan sok lemah gitu, Ao!"

Aku membungkuk di tanah yang sedikit basah karena hujan semalam. Bajuku kotor, perutku sakit, bibirku perih. Kakiku terlalu gemetar untuk bisa berdiri dengan baik dan berakhir berlutut saja di tanah. Bocah laki-laki yang umurnya lebih muda dua tahun dariku itu mendekatiku dan dalam hitungan detik, dia mengarahkan kembali tendangannya kepadaku—kali ini ke arah kepala. Aku tersungkur lagi. Seperti orang bodoh, mencium tanah dengan keras.

"Kenapa lo! Tahu rasa, kan! Makanya jangan sok jadi orang!"

Dalam kekalutan, aku berusaha menerka apa yang salah denganku? Kenapa Jeremy memukuliku? Padahal aku tidak minta uang jajan berlebih atau merengek kepada Ayah.

"He-hentikan!" pekikku, di sela darah yang sesekali keluar dari bibir dalam yang robek—atau bahkan gusiku juga ikut berdarah. Mataku sudah berkunang-kunang, tak bisa memastikan apa yang akan Jeremy lakukan berikutnya.

Bukannya memberiku jeda untuk berpikir, Jeremy kembali melayangkan tendangannya, kali ini berkali-kali ke punggungku. Aku menjerit kesakitan. Luka-luka yang kudapat sebelumnya, belum sembuh benar dan masih meninggalkan lebam di sekujur tubuh.

"Apa salahku!" teriakku, mulai frustasi dengan hujan tendangan yang kuterima.

Serangan Jeremy berhenti dan tangan besarnya menarik kausku—memaksaku berdiri. Matanya melotot dan aku bersumpah matanya mulai memerah seperti monster. Napasnya bisa kurasakan di wajahku, karena dia menatapku dengan kebencian yang luar biasa besar.

"Apa salah lo?" Seringai muncul di wajah Jeremy. "Salah lo adalah dilahirkan ke dunia ini!"

"Argh, jangan!" pekikku sesaat sebelum Jeremy melayangkan bogem mentah ke wajahku. Aku kembali tersungkur, babak belur. Mulutku kembali mencecap rasa tanah.

Aku terbangun dengan air mata membanjiri bantal. Napasku berat dan keringat mulai mengucur dari dahi. Aku membuka kaus yang basah oleh keringat dan membuangnya asal-asalan ke sudut kamar. Menit-menit berikutnya kugunakan untuk menenangkan pikiran.

Mimpi ini sudah lama tidak datang. Kenapa sekarang datang lagi?

****

Mimpi menyebalkan semalam sukses membuatku hanya terpejam selama satu jam, bisa dikatakan hampir tidak tidur semalaman. Pagi ini aku benar-benar tidak mau bertemu Helena setelah aku melihat Bram keluar dari ruangannya, bahkan sebelum aku datang—yang mana aku adalah pegawai yang selalu datang paling awal. Aku berpapasan dengan Bram dan laki-laki itu hanya tersenyum penuh arti ketika melewatiku.

Ketika aku melewati ruangan Helena, perempuan itu sedang memegangi keningnya dan menunduk ke meja. Apakah Bram sudah menceritakan rencananya untuk mengajak Helena kawin kontrak? Aku jadi penasaran, pilihan apa yang akan Helena ambil.

Sebelum Helena melihatku, aku bergegas mengambil laptop kantor dari laci meja dan segera pergi dari ruangan. Kalau memang harus bekerja, aku tidak ingin banyak bersinggungan dengan Helena hari ini. Aku tidak bisa pura-pura tidak tahu apa yang terjadi antara dia dan Bram.

Langkah kakiku mengarah ke rooftop lantai tujuh. Ini masih pukul delapan pagi dan matahari pagi masih cukup hangat. Rupanya tadi pagi sempat hujan sebentar, jadi rumput sintetis di atas sini sedikit basah dan sedikit mengotori sepatuku. Rooftop di sini biasanya memang sepi karena orang malas berpanas-panasan di luar dan memilih menghabiskan waktu istirahatnya di dalam ruangan berpendingin. Sebaliknya, bagiku udara di ruang terbuka jauh lebih baik, meski kualitas udara Jakarta sudah tidak dapat dipungkiri buruknya.

Setelah membalas beberapa surel dan menyelesaikan pekerjaan, aku melirik ponsel. Helena belum menghubungiku, pun rekan-rekan satu timku yang lain. Mereka memang tidak pernah peduli padaku, bahkan kalau aku benar-benar jadi melompat, aku yakin mereka hanya akan mengirim karangan bunga tanpa perlu repot bersedih.

Aku kembali tenggelam pada pekerjaan dan sudah tiga puntung rokok menemaniku. Abunya kadang berhamburan ditiup angin. Kalau Virgo melihat ini, dia pasti sudah memukul kepalaku. Tiba-tiba pandanganku mengarah ke pagar besi pembatas. Sudah hampir sebulan sejak kejadian itu, pertemuan pertama dengan Virgo.

Aku sudah sangat yakin akan melompat hari itu dan aku menyesalinya karena tidak memaksakan diri saat itu. Tiba-tiba aku sudah berada di pinggir pagar besi pembatas, melompatinya, dan berdiri di tembok rendah seperti waktu itu. Aku melongok ke bawah, ke arah aspal lobi timur yang sepi karena jarang dilalui orang.

"Apa aku boleh melanggar janjiku pada Virgo?"

Seperti orang gila, aku mendongak ke langit dan berbicara sendiri. Langit hari ini cerah sekali. Warnanya biru, beberapa awan putih berarak, dan tidak terlalu terik padahal sudah pukul sebelas siang. Sinar mataharinya cukup hangat diselingi angin kering yang sesekali bertiup.

Sejak kecil, aku tidak pernah tahu kenapa namaku menggunakan bahasa Jepang. Padahal mengerti satu kata pun tidak. Aku berbahasa Indonesia sejak lahir sampai sekarang. Aku hanya tahu namaku berarati langit biru, masih senada dengan nama ibu kandungku, Sora—yang artinya juga langit. Ao dalam bahasa Jepang artinya biru, Aozora adalah gabungan dari Ao dan Sora.

Tidak ingin menambah banyak masalah, aku turun dari tembok rendah itu dan kembali ke tempat dudukku. Karena aku tak tertarik melihat laptop lagi, aku mengambil satu batang rokok lagi dan memilih melamun saja menatap langit. Helena akan marah besar kalau memergokiku ada di sini, bersantai-santai. Biarlah, aku tidak peduli.

"Jeremy sialan ..."

Selain karena aku merupakan anak dari hubungan gelap Ariyo Bustami dengan wanita berkewarganegaraan Jepang bernama Sora—yang hanya bisa kulihat lewat fotonya, seharusnya Jeremy tidak perlu membenciku. Aku tidak pernah meminta hal-hal yang tidak diberikan Ariyo padaku. Ariyo saja mengangkatku sebagai anak karena merasa bertanggung jawab atas kematian ibu yang tidak pernah sekalipun kutemui.

Ingatan-ingatan masa kecilku yang menyedihkan kembali berkelindan. Sial, aku mau muntah. Kenapa sih semua itu harus muncul sekarang? Masa gara-gara aku ke teater untuk nonton cewek-cewek yang menari-nari itu sih? Atau memang aku tidak boleh bahagia? Jeremy membenciku, sampai-sampai dia mendatangiku di mimpi, memaksaku mengembalikan kebahagiaan yang tidak boleh kuterima sejak aku lahir ke dunia ini.

Saat ini aku sedang membunuh sosok Jeremy dalam kepalaku dan hal itu membuat darah di seluruh tubuhku bergejolak hebat. Sial, aku tak boleh lama-lama bengong sendirian. Sebaiknya aku mencari kopi saat ini, sebelum tanpa kusadari kakiku melangkah di udara dari rooftop lantai tujuh. Aku sudah harus memperbaiki jalan pikiranku sebelum bertemu Virgo saat makan siang. Biar bagaimanapun, aku sudah membuat janji bodoh pada Virgo. Aku tidak akan mengingkarinya.

****

Rooftop Secret [TAMAT]Where stories live. Discover now