CHAPTER 20 : GOSSIP CEPAT MENYEBAR

33 9 0
                                    


~AOZORA~

"Ao, kemana lo seharian hari Jumat kemarin?"

Helena menatapku dengan tatapan ingin membunuh dari balik mejanya. Yah, aku memang tiba-tiba pergi dari kantor untuk mengantar Virgo, tapi kan aku tidak bisa bilang.

"Tiba-tiba sakit perut dan diare. Jadi gue pulang."

Helena semakin melotot dan aku yakin sebentar lagi bola matanya menggelinding ke atas meja. "Terus, lo lupa nggak izin gue? Lo nggak bisa seenaknya gitu, dong!"

"Sorry, gue beneran lupa. Gue beneran nggak enak badan, jadi gue buru-buru pulang. Kan paginya, gue masih kirim kerjaan ke lo."

Helena berdecak kesal. "Gue nggak bisa ngelindungin lo terus, tahu nggak! Apalagi temen-temen lo pada nggak suka sama lo. Gue nggak bisa pilih kasih kali ini, Ao. Gue akan kasih lo surat peringatan pertama dan gue akan laporkan ke Pak Wildan."

Aku mengangguk. Tidak terlalu heran atau terganggu dengan keputusan Helena. Toh, tidak ada ruginya buatku. "It's okay, Hel. I do really sorry."

Aku tidak sungguh-sungguh ketika meminta maaf tadi.

"Satu lagi," Helena memberi jeda pada kalimatnya dan berkali-kali melirik ke luar ruangannya. "Lo kenal Bramantyo Perdana, kan? What do you think about him?"

"Dia satu angkatan gue waktu masuk IBI, kenapa?"

Aku tidak merasa harus menceritakan pertemuanku dengan Bram tempo hari, tapi aku sebenarnya gatal ingin menghasut Helena untuk menolak rencana Bram. Hanya saja, aku tidak mau bertanggung jawab atas Helena kalau mengusulkan penolakan atas rencana Bram.

"Orangnya gimana? Bisa dipercaya nggak? Bisa bertanggung jawab? Memegang janji?"

"Bertanggung jawab sih, tapi kalau dipercaya dan memegang janji, jujur gue nggak bisa bilang, Hel ... We are not that close," jawabku diplomatis.

Helena memangku dagunya dengan tangan kiri. Alisnya menyatu di tengah, tampak berpikir sangat keras. Bibirnya berkomat-kamit, tapi aku tak mendengar ucapannya.

"Gue udah boleh pergi? Ada lagi yang perlu dibicarakan?"

"Ah," Helena tergagap dan segera mengangguk. "You can go now. But ... jangan ulangi lagi ya, Ao. Gue nggak bisa menjamin penilaian lo tahun ini kalau lo seenaknya kayak gini. Mempertahankan lo di tim gue aja, susahnya minta ampun!"

"Will do, don't worry ..." jawabku sekenanya. Kudengar Helena mengomel di belakangku, tapi aku tak peduli. Sebenarnya aku berpikiran untuk resign, tapi nanti aku jadi tidak punya kegiatan. Harusnya aku resign sebelum memutuskan bunuh diri ya, tapi kan, aku ingin membuat orang kantor terkejut. Aku ingin menjatuhkan nama IBI di media.

Uh, uh, pikiranku sedang kacau.

Sekembalinya ke kubikel, ponselku bergetar dalam mode senyap. Chat dari Virgo yang memastikan jadwal makan siang kami nanti. Aku tersenyum dan membalasnya. Sungguh, saat ini mungkin hanya janjiku pada Virgo yang membuatku tetap hidup.

****

Virgo sudah ada di rooftop ketika aku sampai. Dia melamun sambil memangku kepalanya dengan satu tangan dan pandangannya diarahkan ke tempat aku hampir melompat lagi kemarin. Ups, Virgo tidak boleh tahu tentang keisenganku kemarin berdiri di sana.

Cewek itu tak lagi mengenakan blazernya yang membuatku kegerahan hanya dengan melihatnya. Dia hanya mengenakan dress terusan berwarna hitam dan putih dan menyampirkan blazer di sandaran kursi. Rambutnya diikat tinggi ke atas dengan asal, tapi tetap lumayan rapi menurutku. Pulasan wajahnya tak setebal biasanya, malah, terlihat lebih baik begini. Minimalis, tapi tetap menarik.

Rooftop Secret [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang