CHAPTER 30 : UNTUK BERTAHAN HIDUP ESOK HARI

24 6 0
                                    


~AOZORA~

Aku mendapatkan ponselku kembali di hari ketiga berada di rumah keluarga Bustami. Setelah mengisi dayanya, puluhan pesan masuk ke aplikasi chat dan beberapa panggilan tidak terjawab. Beberapa di antaranya dari Helena dan tim-ku yang intinya marah-marah padaku—tak perlu kusebutkan berapa kata kotor yang mereka tulis. Sisanya adalah Virgo dan Saskia. Uh, uh, aku lupa harus memberi tahu mereka tentang keberadaanku.

Atau mungkin sebaiknya tidak?

Aku melirik Rendra yang mengawalku sehari-hari selama aku berada di Bogor—Ariyo menugaskannya khusus menjagaku kalau-kalau Jeremy datang berniat membunuhku. Oh, betapa manisnya perlakuan Ariyo padaku? Sampai-sampai aku menampar diriku sendiri, takut ikut kesurupan hantu yang merasuki Ariyo.

"Rendra, mending gue ngabarin temen-temen gue atau nggak usah ya?"

Laki-laki berambut pendek agak ikal itu mengernyit menatapku. Dia biasanya berdiri di dekat pintu, sesekali berkeliling rumah, atau kalau tidak ada yang dia lakukan, dia akan duduk di sofa ruang tengah sambil membaca buku. Membosankan sekali.

"Gue nanya pendapat lo nih, penting!"

Dia mengedikkan bahu. "Mendingan nggak usah. Nanti lokasi lo ketahuan sama Jeremy."

"Lah ini gue ngaktifin hape udah bisa ke-detect dong gue ada di mana! Lagian temen gue nggak ngadu ke Jeremy kok, bisa dipastikan."

"Terus ngapain nanya gue?" ujarnya sewot. Rendra memang wajahnya nggak ramah sama sekali, tapi kalau marah begini dia beneran mengerikan.

Dia menghela napas, kemudian menghampiriku dan mengulurkan ponsel yang terlihat kuno sekali. "Pakai ini aja, ponsel sekali pakai. Kabarin mereka, bilang untuk nggak usah nyari lo lagi. Oh ya, ponsel lo nanti gue sita, gue buang di tempat lain biar nggak ada yang bisa ngelacak. Jadi lo catet dulu tuh nomor-nomor penting sebelum gue buang."

Aku membelalak menatapnya, tapi Rendra hanya menaikkan alisnya. "Apa? Pak Ariyo sudah menduga lo akan menghubungi temen lo. Jadi dia siapin ponsel sekali pakai."

"Asli serem banget bisa baca pikiran orang," gumamku sambil menerima ponsel itu.

"Ren, lo udah berapa lama ikut sama Ariyo?" tanyaku basa-basi, sambil mengutak-utik ponsel itu dan mencatat beberapa nomor di kertas yang kurobek dari buku yang ada di ruang tamu—karena tidak ada yang bisa dijadikan buku catatan di rumah itu.

"Bukan urusan lo."

"Ayolah, lo bakal nemenin gue di sini entah berapa hari ke depan. Basa-basi dikit kek."

"Udah lo catat aja tuh nomor dan hubungi temen lo. Jangan banyak omong!" sergahnya.

Aku berdecak, sambil tetap menyelesaikan perintahnya tadi. Aku hanya mencatat nomor Virgo, Indra, dan Saskia. Boro-boro mencatat nomor Helena, menghubunginya saja aku malas. Sebenarnya aku tidak mau menyimpan nomor Indra dan Saskia, tapi kalau aku tak bisa menghubungi Virgo, hanya mereka berdua jalan keluarnya.

"Gue kalau bosen, suka iseng ngiris tangan gue loh. Atau duduk-duduk di pinggir atap," ujarku lagi, berusaha menarik perhatian Rendra. Maksudku, aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, selain bergelung di sofa, menonton berita di TV, atau berkeliling rumah seperti orang gila. Mungkin lama-lama aku akan belajar memasak dan menjahit seperti nenek-nenek.

Rendra melirik tajam, kemudian pandangannya fokus pada buku lagi. "Nggak mungkin lo bisa melakukan itu, kalau gue ada di sini."

"Nggak seru banget lo jadi orang. Ngapain gitu kek sampai Ariyo datang besok Minggu."

Rooftop Secret [TAMAT]Where stories live. Discover now