CHAPTER 2 : CUACA YANG BURUK UNTUK MELOMPAT

108 14 0
                                    


~AOZORA~

Kamar indekosku terasa sangat pengap. Padahal aku sudah jarang merokok di kamar—seringnya sih, di atap indekos. Jadi, aku menyalakan kipas angin dan membuka jendela lebar-lebar. Ini pukul sepuluh malam, tapi udaranya panas sekali. Menyesakkan.

Tanpa repot mengganti baju, aku melempar tubuhku ke sofabed yang hanya dilapisi kain putih—masih sama berantakannya ketika kutinggalkan ke kantor tadi pagi. Aku membuka ponsel yang sejak tadi kumatikan. Ratusan chat masuk begitu ponsel dalam keadaan aktif.

"Sialan!" umpatku pelan sambil melihat makian yang dikirimkan teman-teman satu tim karena aku kabur dari presentasi produk hari ini. Ah, biarlah.

Seharusnya hari ini aku bunuh diri, tapi gagal dengan konyol gara-gara cewek tadi. Padahal aku bisa saja mengabaikannya dan tetap melompat.

Uh, uh, kau bodoh sekali, Aozora.

Kenapa sih, aku selalu gagal bunuh diri? Apa sebenarnya Tuhan belum ingin menerimaku di neraka? Atau jangan-jangan aku ini takut mati, ya, jadi semesta mengabulkannya?

Ponselku tiba-tiba berdering. Bukan nomor yang kukenal. Aku hampir mematikan ponselku lagi ketika muncul pop up pemberitahuan di layar.

'Kau masih hidup kan?'

Mataku membelalak dan dengan segera membuka ponselku. Rupanya itu nomor cewek tadi. Cewek bernama Anastasia Felix Virgo. Nama yang aneh, seperti campuran nama cowok dan cewek. Dilihat dari penampilan dan sikapnya tadi, sepertinya tipikal cewek manja yang ribet.

Ah, kami memang sempat bertukar nomor telepon. Lebih tepatnya, dia yang memaksa meminta nomorku untuk memastikan aku tidak mencoba bunuh diri lagi. Dasar, padahal dia sendiri terluka gara-gara menggagalkan rencana bunuh diriku tadi siang.

Ponselku kembali berdering dan kali ini sampai tiga kali.

"Halo?" ujarku ogah-ogahan, ketika ponselku kembali berdering untuk keempat kalinya.

"Syukurlah! Kamu masih hidup kan? Baik-baik saja kan? Jangan bikin saya khawatir!"

Suaranya yang sedikit bernada tinggi membuatku menjauhkan ponsel dari telingaku. Tiba-tiba panggilan itu diakhiri secara sepihak olehnya, berganti dengan panggilan video. Aku mengernyit ketika mengangkat panggilan itu.

"Ah, syukurlah kau benar-benar baik-baik saja! Saya hampir menelepon polisi tadi!"

Suaranya langsung memekakkan telinga ketika kuangkat panggilan video itu. AKu sudah ingin membentaknya ketika melihat wajahnya benar-benar khawatir.

"Kenapa repot-repot menelepon? Kan kita sudah berjanji untuk bertemu saat lunch break besok."

Wajahnya memberengut. "Terus kalau tiba-tiba kamu bunuh diri sepulang dari kantor bagaimana? Tetap saya akan dicurigai karena melihatmu mencoba bunuh diri tadi!"

Aku terkekeh, "Aku bukan tipe yang melanggar janji nona Felix."

"Nama saya Virgo," potongnya cepat. "Jangan panggil saya Felix."

Aku tertegun. Aku ingat ketika kusebutkan nama lengkapnya, dia sedikit kesal. Memang apa salahnya sih nama Felix? Selain karena mirip nama cowok yang berada di antara dua nama feminim, seharusnya tidak ada masalah lain.

"Kau benar-benar tidak mau memberitahu nama lengkapmu?"

Pertanyaan Virgo barusan membuatku terkejut. Oh ya, aku belum memberi tahunya nama asliku. Mungkin aku harus mempersiapkan diri untuk ditertawakan—seperti reaksi semua orang ketika tahu nama panjangku.

Rooftop Secret [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang