CHAPTER 5 : DRAMA KANTOR

61 9 0
                                    


~VIRGO~

Aozora. Nama yang sangat jarang kudengar. Siang tadi malah aku baru tahu kalau dia anak politikus dan aktris terkenal. Bagaimana bisa bank sebesar IBI tidak menangkap talent seperti Ao untuk dijadikan model iklan layanan maupun produk perbankan mereka? Jelas laki-laki itu good-looking apalagi dengan latar belakang yang menarik seperti itu, harusnya banyak orang menjilati kakinya.

"Heh, bengong aja! Itu kopi udah dingin dari tadi, Vir!"

Aku mengerjap dan baru menyadari tengah terbengong-bengong di pantry. Di depanku yang sebelumnya kosong, sudah duduk Alesha dengan secangkir teh hangatnya. Di luar hujan turun dengan santainya sejak sore dan sampai pukul tujuh malam ini belum berencana untuk berhenti. Urgh, Jakarta pasti macetnya minta ampun. Bukan ide yang bagus pulang sekarang.

"Al, lo kenapa belum pulang? Lembur?

"Enggak, gue cuma nunggu suami doang nih. Kejebak macet di Sudirman. Harusnya bentar lagi dateng. Lo lembur, Vir?"

Aku hanya mengangguk tanpa berkomentar lebih lanjut. Alesha lebih tua tiga tahun dariku dan dia sedang hamil muda. Seharusnya ibu hamil tidak pulang selarut ini tapi wanita di hadapaku ini sangat suka bekerja. Katanya calon jabang bayinya malah berontak kalau dia memilih rebahan. Sudah workaholic dari belum lahir rupanya si bayi ini, pikirku.

"Vir, kapan sih gue lihat lo nggak lembur? Hampir nggak pernah kecuali waktu gempa sore-sore dan semua karyawan disuruh pulang," celetuk Alesha tiba-tiba, membuyarkan lamunanku lagi. Oh Alesha benar, kopiku sudah benar-benar dingin ketika aku menyesapnya.

"Kan lo tahu sendiri Ediana kayak apa."

Alesha mengedik sambil menghabiskan tehnya. "Yah, nggak semua omongan Ediana harus lo ikutin. Lagian lo bisa mencontoh Bram, yang penting terlihat bekerja di depan atasan."

Aku yang mengernyit kali ini. "Lah, Bram mah emang sialan, nyuruh juniornya sampai mau mampus kayak gitu, terus malah dia yang menikmati hasilnya. Gue sih, nggak mau jadi dia."

Alesha mencondongkan tubuhnya. "Trust me, gue lagi berpikir untuk mencontoh dia loh."

Mataku membulat. "Hah? Why?"

"Because, I need to survive the competition, Vir. Gue ibu hamil dan bentar lagi punya anak, tinggal tunggu waktu gue keteteran sama kerjaan gue dan Ediana mulai mencibir. Gue harus kerja cerdik," Alesha memberi jeda pada kalimatnya, "atau lo bisa bilang, sedikit culas."

"I mean, kenapa lo memilih untuk jadi kayak Bram? Lo kan bukan orang yang kayak gitu, Al, terlebih gue yakin banget Ediana nggak akan mencibir anak kesayangannya."

Alesha menggeleng-gelengkan kepalanya dan terkekeh sebentar. "Gue pernah ada di posisi lo, berpikir seperti lo. Idealist but satisfying." Alesha bangkit dan meletakkan cangkirnya di wastafel. Sebelum pergi, dia menepuk puncak kepalaku pelan. "Suatu saat lo akan berpikir kalau cara Bram bertahan hidup itu adalah yang paling masuk akal."

Setelahnya Alesha pergi, meninggalkanku dalam kebingungan. Kopi yang sudah menjadi dingin karena pendingin ruangan membuatku menghabiskannya dalam satu tegukan. Ketika aku keluar pantry, hampir tidak ada orang yang tersisa kecuali Langga dan Tiffany. Aku melewati meja mereka yang penuh tumpukan dokumen. Junior-junior di bawah tiga tahun seperti mereka memang akan melewati malam yang panjang. Sepertiku dulu.

Ah, sudah berapa lama aku bekerja untuk bank ini? Lima tahun?

****

Indra selalu tampak menawan di mataku. Meski dengan baju yang sedikit kusut dan wajah yang sama lelahnya denganku, aku selalu jatuh cinta padanya. Aku sudah hampir memesan taksi dan menerima takdir mengantri berjam-jam di lobi—ketika hujan turun, antrian taksi sudah seperti antrian sembako, ketika Indra menelepon untuk mengajak makan malam.

Rooftop Secret [TAMAT]Where stories live. Discover now