CHAPTER 31 : BRIDEZILLA MODE ON

24 6 0
                                    


~VIRGO~

Aku hampir membanting gaun kesekian yang kucoba hari ini. Setelah mendapat tanggal baik dari Mama, aku membuat janji dengan vendor untuk bertemu besok Sabtu. Tiba-tiba kehidupanku yang super sibuk dan kacau, sekarang makin berantakan karena harus membagi waktu untuk mengurus berbagai macam hal dengan vendor pernikahan. Bagaimana tidak, tanggal baik yang dimaksud Mama itu kurang dari lima bulan lagi dari sekarang.

Hari ini, Indra sengaja mengajakku ke salah satu penjahit langganan Mami untuk mencoba beberapa gaun karyanya. Mood-ku sedang anjlok karena menjadi alternate Relationship Manager dalam dua hari terakhir gara-gara Bram cuti. Kalau urusan nasabah kelolaannya, aku acungi jempol pada Bram karena nasabahnya benar-benar demanding. Urgh, saat seperti ini aku bersyukur nasabahku—meski sama menyebalkannya, tapi masih lebih manusiawi dibandingkan dengan nasabah kelolaan Bram.

"Ini bagus loh, Babe, kamu nggak suka?" Indra muncul di belakangku yang sedang kesulitan membuka kancing belakang gaunnya.

"Punggungnya terlalu terbuka."

"Kan nanti ketutup sama veil-nya," ujar Indra membantu membukakan kancing. Aku buru-buru memegangi gaun bagian depan sebelum gaun itu terjun bebas ke lantai ketika Indra selesai membuka kancing belakang.

"Nggak ah, nggak pede," sergahku sambil berlalu ke balik tirai untuk ganti baju. Aku keluar tak lama kemudian sudah memakai baju kerjaku lagi. "Pulang aja yuk, besok lagi ke sini."

"Nggak sekalian dipilih malam ini? Tadi ada yang bagus kok, yang warna pi—"

"Ndra, pulang yuk? Aku capek," tukasku, sambil menatapnya dengan sedikit memohon.

Indra menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk. Kemudian dia mengobrol sebentar dengan desainer langganan Mami dan meminta katalog untuk kami lihat-lihat. Lima menit kemudian aku merasa car seat jauh lebih nyaman dibandingkan butik. Padahal biasanya aku menyukai berbelanja, tapi tidak hari ini.

"Kamu kenapa sih, Babe? Banyak masalah di kantor? Atau lagi PMS?" Indra mengusap puncak kepalaku lembut, membuatku ingin memejam barang sebentar.

"Capek banget Ndra, nggak ngerti lagi deh. Pengen resign rasanya."

Indra berdecak sambil menatapku dengan kedua alis terangkat. "Yakin?" Dia kemudian menyalakan mobil dan mulai berkendara di jalanan yang masih padat di daerah Kebayoran Lama. "Kita udah pernah bahas ini dan berujung kita berantem loh. Kamu dari kemarin pengen resign, tapi sebenernya dalam hati ragu, kan?"

Aku menyugar rambut dengan kasar. "Terus gimana dong?"

"Lah kok terus gimana. Ya aku yang harusnya nanya ke kamu, kamu maunya gimana? Kalau usulku sih, kamu cari kerjaan lain yang less time-consuming. Ya tapi jangan berharap gajinya lebih besar dari sekarang ya, Sayang. Harus ada satu yang dikorbankan," jelas Indra.

Indra ada benarnya. Aku tidak siap menjadi ibu rumah tangga. Maksudku, itu bukan pekerjaan yang buruk. Menjadi full-time mother adalah sebuah profesi yang mulia. Hanya saja, aku belum siap untuk itu. Aku masih ingin bekerja dan memiliki pencapaian. Masalahnya, pekerjaanku sekarang sudah memakan sebagian besar waktu, membuatku hampir depresi.

Aku bangun dengan leher sakit dan kepala terkadang pusing. Aku tidur lebih dari tengah malam karena banyaknya pekerjaan yang belum selesai. Dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu tak cukup untukku. Ya, aku bahkan harus mencuri waktu istirahatku di akhir pekan untuk menyelesaikan sebagian pekerjaan yang tidak sempat terpegang karena waktu di hari kerja dihabiskan mengunjungi nasabah.

Rooftop Secret [TAMAT]Where stories live. Discover now