CHAPTER 3 : HUJAN AKAN TURUN

70 12 0
                                    


~VIRGO~

Kami berdua duduk di bawah teduhnya payung besar yang menaungi meja. Sebenarnya tidak terlalu terik untuk duduk tanpa perlindungan payung, malah, awan mendung bergerak mendekat dari kejauhan. Gerah sekali hari ini sampai-sampai aku banjir keringat hanya karena menyeret kakiku yang masih sedikit sakit karena jatuh kemarin, dari lift ke rooftop.

Bau rokok masih menguar kuat dari laki-laki di hadapanku ini dan aku berusaha tak menghiraukannya—meski kepala sudah mulai terasa pusing karenanya. Sudah berapa batang rokok yang dia konsumsi hari ini sampai-sampai napasnya saja mengeluarkan aroma rokok.

"Kamu nggak makan?"

"Nggak lapar."

Aku melirik dua kotak makan siang yang sempat kubeli sebelum ke sini. Isinya hanya nasi dan ayam katsu berbumbu ala-ala dengan side dish salad sayuran ala kadarnya. Meeting dengan nasabah di tempat yang cukup jauh jaraknya dari kantor, membuatku terlambat kembali dan hampir saja melihat ambulans di lobi timur.

"Saya membelikan ini buat kamu. Nggak sopan kalau nggak dimakan."

Ao sempat menatapku kesal, tapi akhirnya dia menyendok sedikit-sedikit nasi dari kotak. Aku mengikutinya, dengan lebih rakus. Aku lapar, tidak sempat sarapan dan hanya memikirkan untuk kembali ke rooftop sebelum Ao benar-benar melompat.

"Kamu kenapa berdiri di pinggir situ lagi, sih!"

"Kupikir kamu tidak datang."

Aku memutar bola mataku. "Ponsel saya mati dan seharusnya kamu menunggu sampai lunch break berakhir."

Kini Ao yang memutar bola mata. "Lunch break sudah berakhir ketika kamu datang."

"Masih ada lima menit. Kenapa sih kau suka sekali berniat bunuh diri? Kalau kau mati, ya sudah tidak ada kata kembali."

Ao terdiam dan aku tahu aku salah bicara. Orang yang berniat bunuh diri memang tahu dia tidak akan kembali. Lagi pula aku harusnya menelepon hotline pencegahan bunuh diri milik Kementerian Kesehatan kemarin, bukannya malah mengiakan janji makan siang dengan Ao.

"Maaf, bukan bermaksud seperti itu," ujarku akhirnya. Melihat Ao makan dalam diam, aku makin merasa bersalah. "Hei, saya bantu hubungi hotline Kemenkes?"

Ao mengerutkan dahi. "Hotline? Untuk apa?"

"Untuk membantumu." Aku meraih ponsel dan menunjukkannya pada Ao. "Ini, kamu bisa mendapat penanganan yang tepat."

Tak kuduga, Ao tertawa terbahak-bahak. "Aku nggak butuh bertolongan, Virgo. Aku kan memang mau mati. Nggak usah repot-repot."

"Kalau kamu mau mati, kenapa malah sekarang duduk makan siang dengan saya?"

Ao mengedikkan bahu. "Karena kamu suruh aku makan. Katanya nggak sopan."

Aku ingin menjitak kepalanya saking kesalnya. Ao, nama yang aneh. Apa mungkin dia depresi karena namanya yang aneh? Apa dia dirundung karena namanya? Aku benar-benar tidak mengerti kenapa lelaki yang terlihat baik-baik saja ini malah memilih mengakhiri hidupnya diumur semuda ini. Berapa umurnya? Tiga puluh?

"Kenapa bengong ngeliatin aku?"

Aku baru sadar sudah berhenti menyendok makanan dan malah terbengong menatap Ao. Laki-laki itu menatapku bingung. Ah, Ao ini sebenarnya laki-laki yang good-looking dengan tinggi pasti mencapai seratus delapan puluh dan kulit putih bersih. Pakaiannya juga cukup rapi dan matching. Minus bau rokok yang selalu melekat padanya.

"Naksir, ya? Awas, nanti kesambet."

Aku tergagap malu karena ketahuan masih menatapnya ketika dia sudah menegur tadi. Aku berusaha berkilah dari tatapannya dengan mulai menyendokkan beberapa suap terakhir makan siangku.

"Nggak kok. Sedang menerka saja, berapa umurmu."

"Dua puluh sembilan," jawab Ao begitu saja. Aku kembali menatapnya. "Kamu? Dua puluh lima?" tanyanya balik.

"Dua puluh enam. Terima kasih memuji saya terlihat muda setahun."

Ao menelengkan kepalanya. "Kamu pasti sedang berpikir, kenapa orang semuda aku sudah berniat bunuh diri kan?"

Aku hampir tersedak dan Ao segera mengulurkan botol air mineral padaku. Dia jelas sekali menahan tawa. Sial.

"It's okay, Virgo. I'll tell you." Tiba-tiba Ao berujar dengan wajah yang serius. Aku menutup botol air mineral dengan tempo diperlambat. Wajah Ao tersenyum, tapi tampak sangat pucat. Seolah dia memang hanya hidup dari asap rokok. "Mau mendengarkan?"

Aku tahu aku akan dimarahi oleh Ediana setelah ini karena jam di tanganku sudah menujukkan pukul satu siang lebih tiga puluh menit. Pikiranku berkecamuk. Aku tidak begitu mengenal Ao dan harusnya aku tidak perlu mendengarkannya. Dia bukan siapa-siapa dan kalau dia mau bunuh diri, aku mungkin tidak perlu ikut campur. Masalahku sendiri saja sudah rumit.

Ao masih menunggu jawabanku. Wajahnya tampak pucat, mungkin karena kulitnya yang terlalu putih. Apa setelah dia bercerita padaku, dia akan kembali memutuskan untuk melompat? Apa yang Ao harapkan dariku? Apa yang harus kukatakan untuk menjawabnya? Apa dia ingin aku berkata tidak untuk alasannya melompat? Apa dia ingin aku menyelamatkannya?

Ao tersenyum menatapku. "It's okay Vir, kalau kamu nggak mau mendengarnya. Aku tahu ini masalahku, bukan masalahmu. Ayo kembali, kita sudah terlambat."

"Saya mau mendengarkannya."

Sial, kau menggali kuburanmu sendiri, Virgo.

Ao tidak jadi berdiri, dia terduduk kembali dengan mata melebar. Aku berdeham dan memperbaiki rambutku yang mulai berantakan tertiup angin. Langit sudah menggelap sepenuhnya. Aku bisa mencium bau hujan dari kejauhan.

"Jadi, ayo bertemu setiap jam makan siang di sini," ujarku dan Ao masih terdiam. "Ayo kembali, sudah mau hujan."

Aku membereskan kotak makan siang kami yang sudah kosong. Ao menghabiskan makanannya. Dia mengikutiku yang mampir membuang sampah di sudut rooftop, di dekat pintu gedung. Tepat ketika aku memegang kenop pintu, Ao berujar.

"Namaku Aozora."

Aku menoleh dan mendapati Ao tengah tersenyum kepadaku. Dengan langkahnya yang lebar, dia mendahuluiku membuka pintu dan menutupnya setelah kami masuk ke dalam gedung. Kami berjalan menuju lift dalam diam. Ketika lift berhenti di lantai tiga belas dan aku turun, Ao baru memencet tombol lantainya tanpa bisa kulihat.

"Sampai jumpa besok," ujarnya sebelum pintu lift tertutup.

Kalau Ao wanita, mungkin aku akan memeluknya dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Namun, dia laki-laki yang harusnya memiliki mental lebih kuat dariku. Tapi kenapa? Kenapa dia bisa menyerah atas hidupnya? Kenapa aku harus peduli padanya?

Aku berjalan kembali ke ruanganku seperti orang linglung. Apa aku baru saja membawa masalah lainnya ke dalam hidupku? Apakah hujan siang ini menjadi pertanda akan ada badai datang nantinya?

****

Rooftop Secret [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang