CHAPTER 36 : TAMU TAK DIUNDANG

24 7 0
                                    


~ AOZORA ~

Biasanya aku terbangun dengan kondisi siaga atau paling tidak banjir keringat karena mimpi buruk. Ketika berada di Bogor, aku memang jarang dihantui mimpi buruk, tapi Rissa dan Rendra sukses membuatku bangun dalam kondisi siaga. Mereka tidak main-main menyuruhku berolahraga, sampai tubuhku ditempeli banyak koyo dan malah sempat salah urat.

Pagi ini aku terbangun dengan perasaan damai diiringi kicauan burung dan harum kayu yang meski menenangkan terasa sedikit sumpek. Kupikir aku masih berada di dunia mimpi, terbangun di surga. Karena aku yakin dosa-dosaku terlalu banyak, aku sadar ini bukan mimpi.

"Selamat pagi." Ariyo menyapaku tanpa memalingkan pandangan dari koran paginya. Tangan kanannya menggenggam pegangan cangkir berisi kopi hitam panas.

Aku tak menghiraukannya dan bergegas ke dapur mencari segelas air putih. Setelah minum, aku tidak merasa lebih baik. Ada sesuatu yang aneh di perutku dan bulu kudukku tak berhenti meremang. Memangnya rumah ini berhantu ya?

Pandanganku teralihkan dengan sosok wanita yang sedang duduk di teras belakang—tempat yang sama dengan ketika aku pertama melihatnya. Bedanya, kali ini kursi itu menghadap ke arah datangnya mentari pagi. Wajah wanita itu tak terlihat karena kepalanya sedikit tertunduk ke bawah. Di samping kursinya ada meja kecil dengan secangkir teh panas berisi potongan lemon dan sepiring kecil cookies yang tampak menggiurkan. Oh sepertinya aku lapar.

Seharusnya ketika lapar aku mencari sesuatu di kulkas, tapi aku malah berjalan perlahan menghampirinya. Memang sesuatu yang bergerak aneh di perut sepertinya merusak kinerja otakku. Aku tidak duduk di sampingnya, meski kursi kosong itu memanggil-manggil untuk diduduki. Aku hanya berdiri beberapa langkah di belakangnya, ikut berjemur di bawah sinar mentari yang hangat.

"Selamat pagi, Aozora-kun." Wanita itu tiba-tiba berujar. Aku diam saja.

"Cuacanya baik. Semoga tidurmu baik semalam," ujarnya lagi.

Aku masih diam saja, sesekali meneguk air di gelasku yang tinggal sedikit. Setelah drama pertemuan pertama dengan ibuku yang selama ini kukira sudah meninggal, aku merasa perutku bergolak aneh. Kukira akan pergi ketika aku tidur dan bangun keesokan harinya. Nyatanya tidak.

"Ibu dulu paling suka menjemurmu di bawah matahari pagi. Biasanya kamu menangis karena kepanasan, tapi kamu butuh vitamin yang cukup," celotehnya lagi.

Aku hanya mendengarkan. Meski kemarahanku sudah mereda dibandingkan kemarin, tapi rasanya aku belum ingin memeluk wanita ini dan menangis di bahunya. Maksudku, gara-gara wanita ini dan Ariyo, aku mengalami dua puluh tahun lebih penyiksaan.

Tiba-tiba aku bersyukur masih hidup sekarang, karena aku bisa membuat mereka merasa sangat bersalah karena telah menelantarkanku. Meski aku tidak tahu apa penolakanku kepada Sora ini membuat Ariyo merasa bersalah, setidaknya aku membuatnya tinggal di tempat ini lebih lama. Apa yang tidak menyakitkan dibanding melihat hubungan dua orang yang retak gara-gara keegoisannya? Ariyo pasti tahu itu.

Setelah Sora memohon padaku untuk tidak pergi, Ariyo memutuskan untuk tinggal satu sampai dua hari lebih lama. Awalnya dia berpikir akan mengantar dan meninggalkanku di sini. Sialan. Melihat penolakanku, mungkin dia takut aku memukul kepala Sora dengan sapu atau benda lainnya.

Aku menghabiskan sisa hari kemarin dengan menelusuri sekitar villa itu bersama Rissa. Rasanya air mata Sora membuatku muak berlama-lama di dalam rumah. Kami kembali ketika mulai gelap dan karena aku lelah mendengar ocehan Rissa yang senantiasa menyuruhku pulang.

"Ao-kun, seandainya waktu itu Ibu tidak meninggalkanmu dan hidupmu tidak jauh lebih baik dari pada sekarang, apa kau tetap membenci Ibu?"

Pertanyaan apa itu? Tidak masuk akal.

"Apa kau marah karena Ibu meninggalkanmu? Atau karena Ibu melahirkanmu?"

"Mungkin dua-duanya."

Uh, uh, kenapa malah keceplosan. Bodoh.

Tiba-tiba Sora menoleh ke belakang, ke arahku. Karena sinar mentari yang cukup menyilaukan, membuatku sempat tak bisa melihat wajahnya. Namun sepertinya dia tersenyum.

"Kau benar. Semua yang Ibu lakukan sejak memilikimu tidak akan pernah termaafkan."

Sora kembali menatap kosong pemandangan hutan di depannya. Aku heran kenapa bisa dia bertahan di luar sini sepagi ini hanya dengan sweater di tubuh kurusnya. Maksudku, aku saja kedinginan karena angin yang sesekali berembus.

"Kalau begitu sulit mendapatkan maafmu, Ibu hanya ingin kau tahu kalau Ibu benar-benar tersiksa ketika meninggalkanmu di rumah sakit waktu itu. Ini bukan alasan, tapi Ibu takut Ibu akan menyakitimu kalau kita tetap bersama. Mental Ibu ...." Sora berhenti berujar, sepertinya dia terisak. Wah, dan aku hanya berdiri seperti orang bodoh saja melihatnya.

"Mental Ibu tidak dalam kondisi baik-baik saja. Ibu ingin kau tetap hidup, Ao-kun. Itu kenapa Ibu meninggalkanmu di rumah sakit. Ibu takut menyakitimu ...." Sora meraih cangkir tehnya sebelum melanjutkan. "Melihatmu seperti ini, Ibu sangat bersyukur. Ariyo memberi tahu Ibu beberapa hari sebelumnya kalau kau akan datang. Sejujurnya Ibu takut bertemu denganmu dan semua ketakutan Ibu terbukti dari penolakanmu kemarin. Ibu memang salah, maafkan Ibu, Ao-kun."

Aku tak tahan lama-lama di bawah panggangan matahari yang sudah semakin tinggi. Mataku pedih, silau, dan membuatku pusing. Akhirnya aku meninggalkan Sora dan masuk lagi ke dalam rumah untuk mandi. Ariyo masih ada di tempatnya tadi ketika aku masuk.

"Kapan kau mengembalikanku ke Jakarta?"

Ariyo melirik dari balik korannya. "Kau akan tinggal di sini, menemani ibumu."

Aku memelotot sampai kupikir mataku hampir jatuh menggelinding. "Jangan seenaknya!"

Ariyo melipat koran dan meletakkannya di atas meja. "Ibumu senang sekali melihatmu, Aozora. Lagipula kau tidak punya tempat tinggal lagi di Jakarta. Jeremy bisa membahayakanmu."

"Aku bisa bertahan hidup sampai selama ini juga tanpa bantuanmu! Kenapa sekarang sok peduli aku dihajar Jeremy? Telat!" sergahku. "Aku akan pulang hari ini. Kalau tempat tinggal, aku bisa pergi dari Jakarta hari ini juga. Memangnya kau saja yang punya uang?"

"Ao-kun, kau mau pergi ke mana?"

Tiba-tiba Sora sudah ada di belakangku dengan mata berkaca-kaca. Ah, sialan.

"Kupikir, ah tidak ... Ariyo bilang kau akan tinggal bersamaku di sini ...."

Aku terpaku di tempatku berdiri, lagi-lagi seperti orang bodoh yang otaknya rusak tak bisa digunakan berpikir. Sialan, situasi ini rumit sekali. Saat itu kurasakan, ujung sweater-ku ditarik dari arah belakang. Ketika aku menoleh, kudapati pantulan wajahku di cermin, tapi dalam versi perempuan.

"Aku ... tidak punya alasan untuk tinggal di sini ..." ujarku akhirnya, masih terdengar bodoh. Mataku liar mencari keberadaan Rissa atau Rendra yang biasanya mengekor ke Ariyo, tapi nihil. Mereka tak ada di sekitarku. Sialan, aku butuh bantuan.

"Biarkan Ibu menebus dosa padamu, Ao-kun ... Ibu mohon ...."

Sial. Sial. Sial.

Karena Sora tak kunjung melepaskan cengkeramannya pada pakaianku, aku menarik tangannya. Ariyo berdiri seketika, hampir menghampiriku—mungkin mau memukulku, ketika pintu depan terbuka lebih dulu dengan suara keras. Aku yang hampir membentak ibuku sendiri, terdiam seperti kucing disiram air dingin ketika melihat siapa yang datang.

"Wah apa ini? Potret keluarga bahagia?"

Jeremy berdiri di ambang pintu. Tubuh rakasasanya menghalangi cahaya yang masuk dari pintu, membuat siluet yang menakutkan. Entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu, tanganku yang tadinya hendak menyentak Sora kini menggenggam jemari kurus wanita itu dan menyembunyikan tubuhnya di balik tubuhku. Refleks yang aneh.

Ariyo melangkah duluan mendekati Jeremy. "Kenapa kau di sini Jeremy!" bentaknya.

Jeremy tak menghiraukan ayah kandungnya dan menatap sinis ke arahku. "Gue kangen banget sama lo, Ao. Lo nggak kangen sama adik lo yang ganteng ini?"

Berengsek. Kenapa sih makhluk ini nggak mati duluan karena kebanyakan dosa!

***

Rooftop Secret [TAMAT]Where stories live. Discover now