CHAPTER 23 : KEPUTUSAN UNTUK BAHAGIA

23 7 2
                                    


~VIRGO~

Tiffany mengangsurkan berkas ke mejaku dengan takut-takut. Aku hanya menatapnya sekilas, lalu membuka berkas dalam credit file itu dengan gerakan cepat. Baru lima menit aku tenggelam dengan dokumen itu, aku baru menyadari Tiffany masih berdiri di samping meja.

"Nungguin apa, Fan?" tanyaku bingung.

"Itu Mbak, yang lagi Mbak baca," ujarnya pelan, sambil cengengesan.

"Oh, ini ditungguin? Astaga, sorry! Lo nggak bilang, sih!" ucapku, buru-buru mengambil pulpen untuk membubuhkan paraf di setiap halamannya dan tanda tangan di halaman terakhir.

Tiffany menerima berkas itu dengan cengiran lebar di wajahnya. Gadis itu sudah hampir melangkah menjauh—setelah berterima kasih padaku, ketika aku teringat sesuatu dan memanggilnya. Tiffany kaget dan kembali ke mejaku dengan langkah takut-takut.

"Fan, menurut lo, gue tuh gimana?"

Tiffany hampir memelotot, tapi berusaha ditahannya. "Eh? Gimana maksudnya, Mbak?"

"Ya, gimana gitu? Galak? Nggak menarik? Cupu? Kurang modis? Kurang cantik? Kurang senyum? Atau kurang-kurang apa gitu?"

Tiffany boleh jadi baru satu tahun ada di divisiku, tapi dia sudah mencuri perhatian Ediana. Bersama Langga yang sama-sama good looking, mereka berdua selalu diminta untuk mengerjakan tugas yang berhubungan dengan pihak ketiga. Atau setidaknya diajak makan bareng nasabah, meski yang mengerjakan tugas utamanya adalah aku dan senior lainnya. Mereka bisa jadi bahan cuci mata para nasabah dan mempermudah negosiasi nantinya.

"Emm ... menurut gue, lo oke-oke aja kok, Mbak," jawabnya sambil mengedikkan bahu dan sedikit menelengkan kepala. Mungkin mencari letak kesalahan yang sedang kutanyakan.

"Bukan gitu," sergahku. "Gue ganti pertanyaannya, menurut lo gue tipikal orang yang membosankan nggak sih?"

Tiffany terbengong mendengar pertanyaanku. "Jujur aja, Fan, gue butuh opini yang beneran jujur. Tenang aja, ini nggak ngetes, gue nggak bakal dendam kok."

Tiffany baru saja membuka mulutnya ketika seseorang menepuk pundaknya. "Fan, dicari Bu Ediana. Eh, sorry, lagi sama Mbak Virgo ya! Maaf!"

Langga mengatupkan tangan di depan wajahnya yang terkejut dan memelas di saat bersamaan. Aku mengibaskan tangan di depan wajah. "It's okay, lagi ngobrol nggak penting kok. Fany ketemu Ediana dulu aja."

Langga pamit meninggalkan kami, tapi Tiffany masih berdiri dengan wajah kebingungan di samping kubikelku. "Kenapa Fan? Masih ada yang ketinggalan?"

"Anu, Mbak," Tifanny menggigit bibir bawahnya. "mungkin gue sotoy, tapi kayaknya lo perlu nyantai dikit deh, kayak, lo tuh terlalu serius ... Semua-semua dipikirin, lo jadi insecure sendiri, lo pusing sendiri ...."

Aku terdiam. Kalimat barusan terasa begitu dekat denganku sampai-sampai terasa seperti seribu jarum merajam sekujur tubuhku.

"Sorry, Mbak, sorry! Maksudnya nggak nge-judge lo, tapi gimana ya ... lo menyenangkan kok, tapi lo terlalu serius, kayak pikiran lo jadinya ruwet sendiri gitu ...." Tiffany menggaruh kepala belakangnya kebingungan sendiri.

Aku tersenyum padanya. "Thank you, Fan, I appreciate that."

Tiffany pergi setelah berkali-kali minta maaf. Mungkin Ao benar, aku harus mulai memikirkan kebahagiaanku sendiri. Mungkin nggak seharusnya aku yang berpikir sendiri, gelisah sendiri, dan mencari solusinya sendiri. Indra juga harus bertanggung jawab.

**

Ao tengah berjongkok di depan pintu apartemenku ketika aku baru saja sampai. Melihatku, wajahnya tampak lega. Karena takut mengundang perhatian tetangga satu lantaiku yang hanya ada tiga itu, aku segera membuka pintu dan menyuruhnya masuk.

Rooftop Secret [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang