CHAPTER 13 : DIA KEMBALI MEROKOK

24 6 0
                                    


~VIRGO~

Ao sudah duluan berada di rooftop siang itu ketika aku datang. Laki-laki dalam balutan kemeja biru tua itu tengah menyandarkan satu kakinya pada pagar rel besi sambil asyik merokok. Pemandangan itu sama ketika aku pertama bertemu dengannya dan dia hampir melompat kala itu. Jantungku sempat terjeda satu detik ketika melihatnya tadi.

Ao buru-buru mematikkan rokoknya begitu melihat kedatanganku. Dia bergegas menghampiriku yang duluan memilih tempat duduk di salah satu meja berpayung di rooftop.

"Hai, Vir, gimana kabarmu?"

"Yah begitulah," Aku memperhatikannya membuka kotak makannya. Seperti biasa, kotak makan Ao sangat minimalis—nasi dengan ayam goreng dan sambal. "Kamu kok merokok lagi?"

Ao mengedikkan bahu. "Kangen ngerokok. Maaf, baunya bikin pusing ya?"

"Kamu lagi ada masalah yang lain lagi?"

Ao mengernyit mendengar pertanyaanku. "Kenapa nanya gitu?"

"Kayaknya kemarin-kemarin aku nggak mencium bau rokok darimu, sekarang merokok lagi. Lagi ada pikiran ya?" Di luar dugaan, aku bisa dengan lancar menanggalkan istilah 'saya' ketika berbicara dengan Ao lagi. Apa karena aku merasa sudah lebih dekat dengannya?

"Kenapa? Khawatir ya?" goda Ao.

"Sedikit."

Ao terkekeh. "Memang sih aku merokok untuk menenangkan diriku. Tapi tenang, aku kan sudah janji nggak mati duluan sebelum kamu bahagia."

Kurasakan pipiku memanas. "Itu janji yang konyol sih menurutku."

Ao tak menanggapi, hanya tertawa kecil, dan mulai menyendokkan makanan ke mulutnya. Aku mencuri pandang ke arah laki-laki di depanku. Sebagai orang yang berniat mengakhiri hidupnya, Ao terlihat baik-baik saja terlepas kantung matanya yang sama hitamnya denganku. Tubuhnya nggak kurus sama sekali, tapi nggak kegemukan juga. Rambut-rambut di wajah dicukur bersih dan bahkan rambutnya masih terhitung belum gondrong—tersisir rapi dengan sedikit gel rambut.

"Tell me, Vir," Ao berujar di sela mengunyah makanan. "Kapan kamu menikah? Tahun ini atau tahun depan?"

"Kenapa? Memangnya kamu mau datang?"

"Kalau diundang." Ao berdeham sebentar sebelum meneguk air mineral dari botol minumnya. "Sudah sampai mana persiapannya?"

"Hei," Aku menghentikan kegiatan makanku sejenak. "Kayaknya topik alasan bunuh dirimu lebih menarik daripada topik rencana pernikahanku."

"Yah, nggak seru!" Ao melanjutkan kembali acara makannya. "Padahal seharusnya kamu mengalihkan perhatianku dari rencana-rencana bunuh diri itu, Vir. Kamu malah mengingatkanku lagi, kan jadi ingin melompat lagi."

"Mau dilempar pake heels nih?" ujarku, melotot. "Tell me about yourself, Ao. Kalau hubungan kita sudah sampai di tahap pertemanan, seenggaknya aku harus tahu orang seperti apa yang menjadi temanku ini. Dan ..." Aku sedikit memberi jeda. "...apa yang membuatmu menyerah pada kehidupan ..."

"Sulit, aku sendiri nggak tahu diriku seperti apa. Kamu tanya aja, deh."

Aku berhenti mengoceh dan sibuk menghabiskan makan siangku. Ao mengikutiku dalam diam juga. Sampai kami menutup kotak makan siang masing-masing, aku baru membuka mulut.

"Kenapa namamu dari bahasa Jepang? Kalau benar orang tuamu Ariyo Bustami dan Devayana Safira, dari mana kamu mendapat wajah blasteran kayak gini?"

"Serius kita bahas sekarang nih? Merusak mood banget, Vir."

"Ih, kugetok juga kepalamu!" Alih-alih sungguhan memukul kepalanya, aku mencubit punggung tangannya keras—membuat laki-laki itu mengaduh. "Sudahlah, percuma aku bicara serius sama kamu! Aku sekarang mulai curiga jangan-jangan kamu nggak bener-bener berniat bunuh diri!"

"Aku serius, tapi sudah terlanjur janji konyol sama kamu kan, Vir." Ao mengedikkan bahu dan kemudian menggulung lengan kemejanya yang tak pernah terkancing itu. "Ini buktinya."

Aku melotot mendapati bekas-bekas sayatan di kedua tangannya, dekat dengan nadi di pergelangan sampai sendi siku. Aku tidak mengerti bagaimana orang bisa bertahan dari sakitnya gagal membunuh dirinya sendiri. Ao melalui itu semua, sendirian, dan bukan cuma satu kali. Tiba-tiba aku merasa bersalah, telah membuatnya berjanji padahal dia sendiri butuh pertolongan.

"See? Aku nggak bohong perkara bunuh diri ini. Sayangnya, aku selalu gagal. Dan kadang sedikit menyakitkan," Ao meringis dan menutupi kembali luka sayatan di tangannya. "Lebih repot kalau ketahuan orang kantor kan, jadi aku berhenti melakukan hal yang mencolok seperti menyayat nadi. Kalau gagal malah bikin perkara baru."

"Berapa kali kamu sudah mencoba membunuh dirimu sendiri? Kenapa selalu gagal? Oh, I mean—" Dengan pintarnya, aku baru saja menanyakan kenapa Ao tidak becus untuk membunuh dirinya sendiri. Virgo, kau sudah gila memang.

"Iya, waktu itu kan kupikir menyayat nadi tuh gampang, langsung mati gitu," Ao melempar pandangan ke langit siang yang terik. "Nyatanya nggak, lama banget aku sekarat, perlahan kehabisan darah, dan itu menyakitkan..."

"Oh astaga ..."

"Akhirnya aku nggak tahan dan lari ke rumah sakit. Penjaga kosku tahu dan memaksaku memberi tahu emergency contact, kalau nggak mau aku dilaporkan ke polisi. Akhirnya pengawasan orang tuaku makin ketat dan setiap aku berusaha mengiris nadi, selalu ketahuan ... lalu diselamatkan untuk mengulang kejadian yang sama ...."

"Ao, I don't mean—" Tanganku menyentuh punggung tangan Ao, merasa bersalah.

"Santai Vir, akan kuberi tahu semuanya. Kamu benar, kalau mau berteman harus saling jujur, kan?" Ao meringis lagi. "Aku capek merasa kesakitan, tapi tak kunjung mati. Lalu berubahlah rencana mengiris nadi jadi gantung diri. Kamu tahu? Aku gagal lagi."

Aku masih diam, berusaha mendengarkan. Meski makin lama aku ingin menangis karena ngilu sendiri membayangkan penderitaan yang Ao alami untuk membuat dirinya terbunuh.

"Ternyata gantung diri itu sakit, matinya lama, I told you. Tercekiknya lama, tapi napasku nggak putus-putus. Akhirnya aku gelagapan sendiri dan malah terlepas dari ikatan, jatuh, dan makin merasa tersiksa karena jeratan sebelumnya membuat leherku sakit luar biasa. Aku pernah juga meracuni diriku sendiri, overdosis gitu, tapi ketahuan. Emang nggak pas aja momennya."

"Ao, nggak usah diteruskan ya, I'm sorry udah mengungkit ini ...."

Ao menggeleng cepat. "No, I have to tell you, bunuh diri itu nggak enak, nggak segampang di film. Jadi saran buatmu, jangan coba-coba bunuh diri kalau nggak kepepet!"

Tiba-tiba tawaku pecah, bercampur sedikit dengan amarah. "Gila ya kamu! Mana ada orang ngasih tips buat nggak bunuh diri berdasarkan pengalaman pribadi gitu! Kepepet juga kayaknya aku nggak akan mengakhiri hidupku!"

Di luar dugaan, Ao malah tersenyum. "Good, kamu nggak boleh mati ya Vir, sebelum bahagia. Eh, maksudnya bukan berarti kalau udah bahagia boleh mati, duh gimana sih—"

"Hei, hei, hei." Aku berusaha menenangkan Ao yang meracau. "It's okay. I got it."

Ao menghela napas panjang. "Good. Sampai dimana tadi? Ah, itulah yang membuatku mencari cara untuk mengakhiri hidup dengan instan, tanpa merasa sakit sama sekali."

"Lalu kamu datang ke sini, berniat untuk melompat?"

Ao terkekeh. "Ya, karena di sini sepi dan aku pernah gagal melompat dari rooftop kosan, ingat? Ada CCTV. Di sini nggak ada."

"Tapi ada aku ...."

Perubahan ekspresi di wajah Ao benar-benar tak pernah kuduga. Wajahnya mengeras kemudian melembut, menatapku. Angin panas menerpa kami, sedikit membuat payung yang menaungi bergerak dengan berisik. Hawanya sangat lembab dan hampir membuatku kesulitan bernapas. Saat angin menerpa lagi, Ao menyugar rambutnya yang mulai berantakan. Aku bisa pastikan hari ini akan turun hujan.

"Yeah, terima kasih sudah memberiku alasan untuk hidup, sedikit lebih lama."

****

Rooftop Secret [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang