CHAPTER 34 : WANITA ITU BERNAMA IBU

19 5 0
                                    

~AOZORA~

"Kenapa lo ikut sih!"

Rissa terkekeh di sebelahku. "Gue disuruh jagain lo, biar nggak kabur."

"Siapa yang mau kabur sih!" gerutuku sedikit berbisik.

Aku memandangi punggung Ariyo yang berjalan di hadapanku, menginjak setapak demi setapak tangga buatan yang disediakan untuk menuju sebuah villa di tengah hutan pinus. Di depannya Rendra dan beberapa pengawal Ariyo mendahului. Menurut Rendra, Ariyo sengaja menyewa satu unit villa di kawasan ini untuk tempat tinggal ibuku, meski villa ini termasuk dikomersilkan.

Setelah melewati tanjakan yang cukup melelahkan, kami sampai di sebuah rumah berdinding kayu dan bercat putih. Di halamannya terdapat satu set meja dan empat kursi yang juga berwarna putih dengan pemanggang yang ditutupi pelindung agar aman dari hujan di sampingnya. Tempat yang menyenangkan untuk bersantai dari hiruk pikuk kota. Beberapa meter dari sana ada turunan menuju sungai yang suaranya terdengar dari tempat kami berdiri. Sejuk sekali di sini apalagi ketika cuaca cerah seperti ini terasa sekali udaranya bersih dibandingkan udara Jakarta yang menyesakkan.

Jantungku berdebar tidak karuan ketika Ariyo mulai menapaki tangga rumah putih itu dan mengetuk pintunya. Seorang wanita paruh baya membukakan pintu dan menunduk-nunduk ketika berbicara dengan Ariyo. Tiba-tiba Ariyo berbalik menatapku, membuat jantungku sempat berhenti berdetak barang dua detik.

"Ayo, ibumu menunggu di dalam."

Rumah itu benar-benar membuat perasaanku lebih tenang. Seluruh dinding dan lantainya terbuat dari kayu yang sudah dipoles. Perabotnya sebagian besar berwarna putih dan cokelat muda hangat yang juga menenangkan. Harum kayu dan eucalyptus menerobos hidungku, menciptakan sensasi yang menggelitik. Biasanya aku mencium bau ini di lobi hotel tempat aku menghabiskan waktu bersama gadis-gadis manja yang kadang menyebalkan.

Ariyo menuntunku ke belakang rumah. Rissa dan Rendra menunggu di depan, bahkan tak melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Di belakang rumah ada teras kecil dengan dua kursi kayu yang terlihat nyaman dengan bantal empuk yang melapisinya. Di salah satu kursi itu, duduk seorang wanita yang meski memiliki kerutan di wajahnya, masih memelihara dengan baik rambut panjangnya yang berwarna hitam dan tebal—meski aku melihat sehelai dua helai rambutnya berubah keperakkan. Wajahnya benar-benar asing buatku. Mungkin karena sejak bayi dia sudah menelantarkanku.

Uh, uh, uh, perasaan apa ini? Kok aku tidak merasa bahagia? Alih-alih, gemuruh di dada rasanya ingin meloncat ke luar menerkam wanita yang sedang menghidu aroma teh dari cangkirnya. Tiba-tiba wanita itu meletakkan cangkirnya dan menoleh ke arah kami.

"Kamu benar-benar datang bersamanya?" ucapnya dengan suara bergetar dan sedikit serak, menatap Ariyo.

Ariyo menghela napas panjang dan menghampiri wanita yang berdiri menyambutnya. Ariyo memeluk wanita itu dan menggenggam tangannya. Pandangannya melunak, lebih terlihat seperti orang yang merasa bersalah. Sama seperti ketika memandangku setelah dihajar oleh Jeremy tempo hari.

"Ini Aozora?" Wanita itu menatapku dari balik bahu Ariyo takut-takut. Aku baru menyadari kalau matanya sembab—mungkin habis menangis?

Ariyo mengatakan sesuatu yang cukup pelan kepada wanita itu, aku tidak bisa mendengarnya. Sepertinya dia menceritakan tentang diriku. Meski aku melihat sosok ibuku yang selama ini kupikir telah tiada, aku hanya diam berdiri tidak tahu melakukan apa. Maksudku, apa yang harus kulakukan di depan orang yang sudah menelantarkanku di rumah sakit? Bersujud minta maaf? Atau harus menangis haru?

"Ao, kemarilah," perintah Ariyo, yang entah kenapa langsung kuturuti.

Dari dekat wanita itu baru terlihat sebagai orang Jepang. Matanya sedikit meruncing di sudutnya dan kulitnya seputih susu. Kontur wajahnya seperti orang Jepang kebanyakan, tapi dengan tulang pipi yang agak tinggi dan dagu yang sedikit runcing. Sebenarnya dia cantik, melebihi Tante Yana menurutku—lebih tepatnya cantik alami. Pantas Ariyo jatuh cinta, karena aku yakin ketika muda ibuku jauh lebih cantik daripada sekarang.

"Sora, ini anakmu, anak kita, Aozora."

Yang dilakukan wanita bernama Sora itu bukannya memelukku, tapi tangannya meraba pipiku perlahan dan ketika air matanya jatuh, tubuhnya ikut jatuh berlutut di kakiku. Ariyo menghela napas panjang dan ikut berjongkok untuk mengangkat tubuh Sora yang terlihat lemah itu. Namun wanita itu menggeleng dan tetap menangis di kakiku. Aku, seperti orang bodoh, hanya menatapnya dalam diam.

Ariyo mendongak, memberiku tatapan yang tidak jelas maksundya apa. "Ao, dia ibumu."

Entah karena aku mulai malas mendengar suara tangis Sora yang menyayat hati atau karena aku ingin segera duduk, aku berjongkok dan mengangkat tubuh renta itu untuk duduk tegak tanpa membungkuk mencium kakiku. Matanya basah oleh air mata dan rambutnya berhamburan ke depan wajahnya. Dia terlihat kacau. Aku melirik ke arah Ariyo, meminta petunjuk apa yang harus kulakukan, tapi laki-laki itu hanya menatapku balik dengan aneh.

"Boleh kita ngobrol sambil duduk saja? Kakiku sakit," ujarku, yang langsung diikuti helaan napas Ariyo.

**

Suasana tidak berubah membaik setelah kami duduk dengan benar dan minum beberapa teguk teh lemon. Berkali-kali Ariyo memberi kode tidak jelas dengan lirikannya padaku, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Maksudku, dia hanya bilang mau mengantarku menemui Sora, tapi tidak memberikan arahan lainnya. Bagaimana menghadapi orang yang seharusnya kau panggil Ibu tapi menelantarkanmu saat masih bayi? Tidak diajarkan di mana pun.

"Sora, bagaimana kondisimu akhir –akhir ini? Maaf aku jadi jarang berkunjung. Apa dokter Surya masih mengunjungimu dengan rutin? Kau meminum obatmu, kan?" Ariyo menyerah, dan membuka obrolan lebih dulu. Ariyo duduk di samping Sora, tangannya senantiasa menggenggam tangan wanita itu. Menggelikan, mengingat Ariyo membuang Sora ketika datang membawaku ke Jakarta dulu.

"Aku baik-baik saja. Terima kasih," jawab Sora lirih. Untuk orang Jepang asli, bahasa Indonesianya cukup baik. Mungkin karena dia tinggal di sini sejak melahirkanku.

"Ao, kau jauh-jauh datang kemari hanya untuk diam saja? Kau tidak ingin bertanya apa gitu pada ibumu? Dia sudah melahirkanmu, setidaknya bertanyalah tentang kesehatannya." Tiba-tiba Ariyo menatap kesal padaku yang terbengong kebingungan.

"Jangan begitu," desis Sora, mengusap punggung tangan Ariyo. "Aku paham kenapa Ao membenciku. Aku tahu aku salah, maafkan aku, Ao ...." Sora mengulurkan tangannya padaku yang duduk di hadapan mereka, berjarak satu meter.

"Aozora!" bentak Ariyo lagi, wajahnya mengeras.

Aku mengembuskan napas keras-keras. "Haduh! Merepotkan! Kenapa sih kau berharap aku bersujud di depan wanita ini? Memangnya kenapa kalau dia ibuku? Dia meninggalkanku sejak bayi. Aku tak punya utang apa pun padanya! Aku bahkan yang harusnya menuntut padanya karena membuat hidupku seperti ini! Seharusnya a—"

"Cukup!" Ariyo berdiri dan memelotot padaku. Dengan satu hentakan dia mengangkat lenganku, memaksaku berdiri. "Aku membawamu ke sini untuk menyatukanmu dengan wanita yang mengorbankan semuanya untuk melahirkanmu, mempertahankanmu untuk tetap lahir ke dunia! Dan kau malah menginjak-injak harga dirinya! Dia ibumu, Aozora!"

Emosiku memuncak. Tak tertahankan lagi. Ini terlalu menyakitkan.

"Brengsek! Aku tidak peduli! Kalian berdua ... Kalian berdua yang membuat hidupku berantakan! Lebih baik aku tidak dilahirkan kalau kehadiranku membuat kalian malu, membuat hampir tiga puluh tahun hidupku sia-sia seperti ini! Sekarang aku harus meminta maaf pada wanita yang hidup nyaman di sini?" Aku menepis tangan Ariyo yang mencengkeram lenganku. "Aku tidak sudi! Aku harap kalian menerima balasannya!"

Aku sudah hampir melangkahkan kaki pergi dari sana ketika dua lengan melingkar di tubuhku, menahanku untuk tidak pergi. Meski mulai ada keriput di punggung tangannya, lengan itu melingkar kuat. Isakan terdengar dari belakang punggungku.

"Aozora, jangan pergi .... Maafkan Ibu, Ao ... maafkan Ibu .... Jangan pergi lagi ...."

Uh, uh, kalau begini bagaimana bisa aku tidak luluh?

***

Rooftop Secret [TAMAT]Where stories live. Discover now