CHAPTER 4 : MERASA LEBIH SEHAT

63 11 0
                                    


~AOZORA~

Aku tidak tahu apa yang telah Virgo lakukan padaku, yang jelas aku membersihkan kamar indekosku hari ini. Bukannya aku tiba-tiba punya semangat hidup dan kehilangan minat bunuh diri, tapi rasa-rasanya aku ingin kamarku sedikit rapi saja. Yah, meski yang kurapikan hanya sofa dan meja kecil di tengah ruangan. Pantulan tubuhku di cermin besar yang tampak kotor di sudut kamar tiba-tiba mengambil alih perhatianku.

Aku benar-benar tampak bugar. Meski kulit putih pucat membuat pantulan wajah ini semakin terlihat tidak sehat, tapi tubuhku berkata lain. Tidak ada tulang-tulang menonjol dari balik kulit, tidak ada kulit yang kering atau mengelupas. Tubuhku tidak atletis, tapi tidak juga kegemukan. Standar-standar saja, sangat terlihat sehat malah.

Uh, uh, apa yang aku pikirkan sih?

Semua orang kalau tidak melihatku berdiri di pinggir rooftop—seperti Virgo, pasti akan mengira aku baik-baik saja. Kan, memang itu tujuanku. Membuat orang-orang yang jahat padaku merasa bersalah karena aku yang terlihat baik-baik saja, tiba-tiba ditemukan mati.

Uh, uh, tapi bagaimana kalau mereka merasa biasa saja? Tidak merasa bersalah sama sekali? Atau bahkan hanya merasa kasihan karena aku hidup seorang diri? Tidak akan ada yang mengurus mayatku kecuali polisi. Bahkan aku mungkin akan langsung dikubur tanpa disemayamkan di rumah duka.

Pikiran-pikiran itu kadang menyakitkanku. Kalau benar begitu, apakah ketika aku mati nanti Virgo akan sedih? Virgo akan merasa bersalah karena mengingkari satu kali saja janji makan siang bersama? Atau Virgo akan dengan cepat melupakanku?

Uh, uh, aku tidak mau memikirkannya.

Oh ya, sejak kapan ya, aku mulai merencanakan bunuh diri yang spektakuler ini?

***

"Kamu kos di daerah mana, sih?"

Aku mengalihkan fokus dari kotak makan siangku ke arah Virgo yang menatapku dengan wajah lelah—kupikir, kantung matanya makin menghitam saja. Ruangannya ada di lantai tiga belas, kemungkinannya cuma dua—bagian audit atau business unit. Keduanya bukanlah unit yang memanusiakan pegawainya. Yah, meski unitku juga jauh dari kata manusiawi.

"Malah bengong!" ujarnya ketus.

"Senayan."

Aku menunggunya membalasku, tapi dia hanya mengangguk-angguk. Kadang pandangannya lebih sering tertuju pada ponselnya daripada aku. "Kamu sudah ada janji, ya?"

Virgo tergagap. Mudah sekali ditebak. "Nggak kok. Kenapa nanya gitu?"

"Soalnya ngobrolnya basa-basi banget. Kamu kalau ada janji, nggak perlu datang ke rooftop hanya untuk menemaniku."

Virgo mengernyit. "Memangnya ada jaminan kalau saya nggak datang, kamu nggak lompat?" Aku mengedikkan bahu dan cewek mungil di depanku ini berdecak kesal. "Tuh, kan! Lagipula saya sudah berjanji kan, sebisa mungkin saya tepati."

"Terima kasih," ujarku, sungguh-sungguh.

"Daripada mencari-cari tahu tentang saya, kamu punya hutang cerita loh, Ao." Virgo menudingku dengan garpunya. "Kamu sudah menikah? Sudah punya pacar? Tunangan?"

Aku terkekeh. "Sabar. Aku cerita satu per satu, ya? Aku jawab pertanyaanmu dulu." Aku menyuap nasi sekali sebelum memulai. "Aku masih lajang, pernah punya pacar, dan suka main cewek sampai sebelum berniat melompat kemarin."

Virgo melotot, tapi tidak mengatakan apa pun setelahnya. Dia hanya melanjutkan makan siangnya sambil sesekali melirik ke arahku. Uh, uh, sungguh menggemaskan. Pasti dia sedang mengutukku karena kalimat terakhir tadi. Hei, tidak perlu bohong, kan?

Rooftop Secret [TAMAT]Where stories live. Discover now