CHAPTER 9 : KAMAR YANG BAU ROKOK

39 10 0
                                    


~VIRGO~

Kata Indra, semuanya bisa diatasi asal kami saling mengalah. Nyatanya perkara saling mengalah ini nggak semudah ketika diucapkan. Makan malam hari ini seharusnya untuk meningkatkan mood dan motivasiku bekerja setelah surat resign-ku ketahuan Bram. Seharusnya Indra memberikan ketenangan yang biasanya kutemukan dalam dirinya.

Lima belas menit pertama kami duduk di Lucy in The Sky dan memesan makanan, Indra mulai mengoceh tentang buruknya hari ini. Terutama Saskia yang nggak becus bekerja setelah ketemu mantannya siang bolong di Pacific Place. Bahkan beberapa menit berikutnya dihabiskan Indra untuk menceritakan Saskia dan berbagai perangainya.

"Ndra, aku ke sini mau dinner sama kamu, bukan dengerin dongeng tentang Saskia," potongku akhirnya, tak tahan mendengar omelan Indra. Sudah cukup buruk hariku gara-gara Bram, jangan sampai Saskia menambah beban hidupku.

Di luar dugaan, Indra melempar kekesalannya pada Saskia ke arahku. "Babe, jadi aku tuh nggak boleh cerita ya? Cuma kamu yang boleh cerita dan harus didengarkan?"

"Loh, kok jadi sewot?"

"Kalau kita menikah nanti, kalau aku pulang kerja capek, kamu nggak mau dengerin?"

Aku tahu seharusnya aku berhenti saat itu. Namun, rasa lelahku yang mendera beberapa hari terakhir tak mampu kubendung lagi. "Kok kamu jadi marah-marah! Aku bukannya nggak mau dengerin, but, I came here for dinner! Jangan bicara pekerjaan, apalagi cewek lain!"

Indra mengernyit, "Kamu cemburu, oh please don't be."

"I'm not!" Rasanya darahku sudah mendidih saat itu. "Kita sama-sama capek, Ndra, dan aku berharap ketika kita ketemu kayak gini, kita sharing hal-hal yang menyenangkan aja. Jangan bahas pekerjaan, bikin pusing!"

"Fungsinya pasangan itu ya saling menguatkan, Vir," Indra berucap lagi, dengan intonasi yang sedikit tinggi—bahkan dia sudah mulai memanggilku dengan nama. "If something happens to you, it affects me too. Jadi kalau ada masalah, ya harus cerita! Jangan pura-pura nggak ada masalah kalau ketemu!"

"Ndra!" Aku memijat keningku. "Please stop, aku nggak mau berantem."

"You started it first." Indra mengedikkan bahu. "Aku pikir kamu mau menerima semua kelemahanku, Babe, ternyata kamu hanya ingin kenyamanan untukmu saja."

Aku tiba-tiba merasa kehausan, tapi minumanku tak kunjung datang. Indra menatapku dengan kekecewaan tergambar jelas di matanya. "I'm always here for you. But you never were."

Mungkin aku sedang PMS, jadinya hormon labilku sedang dalam puncak tertinggi. Yang kulakukan berikutnya adalah meninggalkan Indra begitu saja. Indra tidak mencegahku pergi. Mungkin, dia sama lelahnya denganku. Mungkin, kami sama-sama butuh waktu sendiri.

"Virgo? Mau sampai kapan di situ?"

Aku tersadar karena bau rokok mengisi rongga hidungku ketika Ao membuka pintu kamarnya. Eh tunggu, aku dimana? Kok ada Ao?

"Vir, do you want to come in or not? Kuantar pulang saja?" Ao masih berdiri di ambang pintu, tangannya masih memegang kenop, dan matanya menatap lurus padaku. Mata yang sama lelahnya denganku.

Kini aku ingat, aku bertemu Ao ketika sedang menunggu taksi di SCBD tadi. Lalu aku mengikutinya pulang ke indekosnya. Ah, bagaimana bisa kau seceroboh itu Virgo!

Melihat Ao yang masih berdiri di ambang pintu membuatku tidak enak hati. Pasti laki-laki ini jadi kesusahan karena aku yang melamun sepanjang perjalanan. Mungkin tadi Ao menanyakan alamatku, entah, aku tidak ingat. Aku mungkin tidak benar-benar ingin sendiri sekarang.

"Maaf kamarnya bau rokok," ujar Ao sambil menutup pintu di belakangku. "Padahal aku selalu merokok di rooftop akhir-akhir ini."

Aku melemparkan diri ke atas sofa keras yang mungkin menjadi satu-satunya perabot Ao di kamar itu yang bisa kududuki. "Rooftop? Kosan ini ada rooftop-nya?"

Ao mengedikkan bahu. "Semacam itu. Lebih tepatnya seperti tempat jemuran pakaian." Ao membuka mini bar yang kulihat isinya hanya botol mineral, beberapa kaleng bir, dan sisa makanan yang dibekukan. "Mau minum apa? Aku tidak punya banyak pilihan."

"Air mineral aja." Aku menangkap lemparan botol air mineral dari Ao. "Kamu nggak mencoba lompat dari rooftop kosan kan?"

"Pernah." Ao membuka satu kaleng bir dan duduk di lantai yang dilapisi vinyl warna cokelat tua. "Tapi ketahuan salah satu penghuni kos yang menjerit histeris. Setelahnya, pemilik kos memasang CCTV dan diawasi 24 jam oleh penjaga, jadi aku tak punya kesempatan lagi."

"Kenapa sih, kamu suka sekali berencana bunuh diri?" Aku mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Kupikir kosan ini sempit ternyata cukup luas untuk ditinggali seorang diri. Apa mungkin karena hanya ada beberapa furnitur saja di sini yang membuatnya terlihat luas?

"Ya kan memang tujuanku mau mati."

"Hei!" Aku menendang tulang keringnya. "Sudah saya bilang jangan bicara begitu!"

Dia tersenyum, "Kenapa kamu peduli, Vir? Kita bahkan nggak mengenal sebelum pertemuan di rooftop waktu itu."

Aku melengos. "Saya nggak suka aja sama orang yang ngomongin mati segampang itu. Apa sih yang membuat kamu menyerah seperti itu, Ao?"

"Nggak ada alasan spesifik. Aku nggak punya tujuan hidup aja." Ao menenggak habis bir kalengnya dan melemparnya asal-asalan ke tong sampah di sudut ruangan—untungnya kalengnya masuk tepat sasaran. "Nggak seperti kamu, yang punya Indra contohnya, yang jadi alasan untuk kamu tetap hidup."

Aku memutar bola mata. "Yeah, alasan saya untuk hidup itulah, yang menyebabkan saya ada di sini sekarang, Ao."

"Kalian berantem? Kamu tadi lagi sama Indra?" Ao membelalak, tubuhnya condong ke arahku. Uh, dilihat dari tempatku duduk, dia tampak seperti anak anjing.

"Sudah, nggak usah dibahas. Capek. Anyway ...." Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Dimana kamu biasa tidur?"

Ao menelengkan kepala. "Itu, di sofa yang kamu duduki."

"Hah?" Aku hampir menjerit mendengar omong kosong barusan. "Ini sofa, bukan tempat tidur, Ao! Jangan bercanda, saya sedang malas, nih!"

"Aku nggak bercanda. Aku memang tidur di situ. Eh, nggak apa loh nggak usah ikut duduk di lantai, Vir!" ujar Ao begitu melihatku langsung duduk di lantai begitu tahu itu tempatnya beristirahat dan aku seenaknya duduk di atasnya. "You can sit anywhere you want."

"Kayak saya punya pilihan lain selain di sofa," cibirku. "Why, Ao? Berapa lama kamu bekerja di IBI? Pasti setidaknya lebih lama dari saya. Gajimu cukup untuk membeli sebuah tempat tidur, kan? Kenapa tidur di sofa? Ini bahkan bukan sofabed!"

Ao mengedikkan bahu lagi. Matanya masih terlihat lelah. "Sama saja buatku. Lagipula kenyamanan itu relatif. Bagiku, tidur di sofa sudah cukup nyaman dan nggak makan tempat banyak. Aku nggak suka ruangan penuh barang-barang."

Kenyamanan itu relatif ....

"Vir, kamu benar-benar capek ya?"

Tiba-tiba kurasakan tepukan Ao di bahuku. Laki-laki itu kini ada di hadapanku, hanya berjarak kurang dari satu meter—menatapku khawatir. Mungkin sedari tadi aku berusaha mengalihkan pikiranku dengan memikirkan kondisi Ao, tapi sebenarnya aku hanya ingin lari. Tepukan Ao barusan menyadarkanku atas kondisi tubuhku yang perlu istirahat.

"Are you okay? Kuantar pulang ya? Beri tahu alamatmu." Ao berdiri dan mengulurkan tangannya kepadaku. Aku hanya mendongak menatapnya, tak beranjak sedikit pun dari tempatku duduk. Kakiku rasanya benar-benar kelelahan, kepalaku terlalu berat untuk di ajak membuat keputusan—bahkan untuk mengingat dimana aku tinggal.

"Ao, boleh saya menginap malam ini?"

****

Rooftop Secret [TAMAT]Where stories live. Discover now