CHAPTER 17 : TUMBANG

25 9 0
                                    


~VIRGO~

Setelah pulang lewat tengah malam dan kesulitan tidur karena baru saja mendengar cerita skandal salah satu anggota DPR dari mulut anaknya sendiri, aku mengalami sakit kepala hebat pagi ini. Alesha sudah mengangsurkan paracetamol sejak pagi, tapi rasa berat di kepala dan pundak ini tak kunjung hilang. Setelah hampir muntah, aku memutuskan menenangkan kepalaku di pantry.

"Kenapa lo? Sakit?"

Ucapan sinis Bram menyambutku ketika membuka pintu pantry. Urgh, rasanya ingin putar balik menjauhinya, tapi kepala ini benar-benar tidak bisa ditoleransi. Akhirnya egoku mengalah pada rasa sakit dan membiarkan langkah kakiku membawa ke meja pantry, hanya untuk meletakkan kepalaku sejenak.

"Muka lo pucat banget, kayak zombie!"

"Bram, gue bener-bener nggak mau ngobrol ya, sekarang," keluhku, masih dengan wajah tertelungkup di meja.

Sepertinya Bram memilih menuruti kata-kataku dan diam sepanjang lima belas menit ke depan. Aku hanya bisa mendengar suaranya menyesap kopi, selebihnya hening. Mungkin sebentar lagi Ediana akan berteriak mencariku yang belum mengumpulkan laporan padanya—ah, masa bodoh deh. Aku hanya butuh memejamkan mata sebentar.

"Vir, Vir!"

Guncangan di bahuku menyadarkanku sepenuhnya dari tidur sejenak. Aku mengucek mata—lupa kalau memakai eye-liner dan maskara yang akhirnya berantakan. Bram sudah tidak ada di hadapanku, berganti dengan Alesha yang berdiri di sampingku dengan wajah cemas. Perutnya sudah terlihat cukup besar sampai-sampai aku melihat perutnya duluan daripada wajahnya.

"Are you okay?" Alesha mengangsurkan tissue ketika aku mengusap mata yang belepotan eye-liner dan maskara.

Aku menggeleng pelan. Rasa berputar yang membuat mual masih bergelayut di kepala dan pundakku. Paracetamol-nya tidak bekerja sama sekali. Padahal aku minum dua tablet sekaligus.

"Ediana nyari lo terus tadi. Si Bram yang ngasih tahu gue kalau lo ada di pantry," terang Alesha, meraba keningku. "Ew, panas banget! Pulang sih lo! Gue izinin ke Ediana?"

"Nggak usah," Aku berusaha berdiri, tapi malah ambruk lagi ke kursi karena tubuhku kehilangan keseimbangan.

"See? Udah deh nggak usah sok jagoan! Lo mau gue anter pulang? Apa gue telponin Indra?" Alesha mulai ribut sendiri dan dengan perut yang kebesaran, dia sedikit terengah-engah.

"Indra lagi dinas luar kota, baru balik malam nanti," Aku menyandarkan kepalaku lagi di atas meja. "Gue kayaknya harus lapor Ediana deh, gue beneran nggak bisa ngeliat layar PC."

"Okay, gue minta tolong Bram nganterin lo ya!" Alesha hampir saja berlari, ketika tangannya serta merta kutahan.

"Nggak ada orang lain selain dia apa? Nggak mau sama Bram," rengekku.

Alesha mendelik. "Yang lagi ada di kantor dan bawa mobil cuma Bram!"

"Pakai mobil gue aja, suruh siapa gitu nyetirin! Nggak mau pokoknya kalau dia!"

Alesha masih berkacak pinggang. "Udah, lo sakit gini nurut napa sih!" Alesha tak mempedulikanku dan bergegas keluar pantry. Lima belas menit kemudian dia sudah kembali dengan Bram. Argh, melihatnya yang sedang menatapku iba saja membuatku kesal.

Dibantu Alesha yang membukakan semua akses pintu, Bram memapahku ke lift yang melesak turun dengan cepat—sedikit membuat mual. Kami tidak berbicara satu patah kata pun. Alesha sudah meninggalkan kami sejak kami masuk lift—dasar ibu hamil ngeselin.

Rooftop Secret [TAMAT]Where stories live. Discover now