CHAPTER 11 : WHITE LIE

31 7 0
                                    


~VIRGO~

Aku tahu Ao berbohong. Keinginannya untuk bunuh diri begitu kuat, aku bisa merasakannya. Entah kenapa, aku benar-benar tidak rela dia bunuh diri. Dia punya terlalu banyak kesempurnaan yang tak dimiliki orang lain, harusnya dia bersyukur. Harusnya dia tidak perlu mengakhiri hidupnya. Akan banyak orang yang sedih dengan kepergiannya. Atau mungkin, aku bisa saja salah dan Ao benar.

"Kamu yakin nggak mau diantar?" Ao berdiri menyandar pada pagar kosnya—yang setelah kuperhatikan cukup mewah meski kamar Ao sangat teramat minimalis.

"Hujan sudah reda, saya juga sudah pesan taksi." Aku kembali mengecek aplikasi taksi daring untuk melihat dimana taksiku sekarang.

"Vir, kamu sudah menginap di kosku semalam, kamu nggak berpikir menghilangkan sapaan saya-kamu?"

Aku menoleh, mendapati Ao menatapku dengan cengirannya. "Maksud kamu apa?"

"Let's call each others casually."

Aku mengedikkan bahu. "Oh, nggak masalah sih."

Padahal aku memang sengaja menjaga keformalan ini untuk nggak terlibat lebih jauh dengan laki-laki aneh ini. Tapi dia benar juga, aku sudah dengan seenaknya menginap tanpa izin di indekosnya. Duh, aku malu sendiri mengingat tidur seenaknya di satu-satunya tempat paling nyaman di kamar yang kosong itu. Manusia macam apa yang tidur selama bertahun-tahun di sofa dan tidak pernah mengeluhkan sakit leher atau sakit punggung.

"Dan satu lagi ...." Ao mendekat dan menepuk pundakku, bibirnya tiba-tiba sudah berada di dekat telingaku. "Biar bagaimanapun, aku ini laki-laki loh, Vir. Kamu nggak bisa sesantai itu menginap di kamar yang sama dengan seorang laki-laki tanpa waspada sedikit pun."

Bulu kudukku meremang, seketika itu juga aku menjauh dari Ao sambil memegangi telingaku yang kurasakan mulai memanas. Laki-laki itu melipat tangannya di depan dada dengan pandangan tajam menatapku.

"Ingat kata-kataku itu, Vir. Jangan ceroboh."

Taksiku datang dan aku masuk ke dalam taksi dalam suasana yang masih canggung. Ketika aku membuka jendela untuk mengucap terima kasih, di saat itulah aku melihat Ao tersenyum—yang paling tulus yang pernah kutahu selama aku mengenalnya.

"Hati-hati! Semangat, ya!"

Ah, seharusnya itu kata yang aku ucapkan padanya. Dia yang lebih butuh dukungan untuk tetap hidup. Bukan mendukungku, yang sentimentil dengan pertengkaran yang tidak penting.

****

Indra memelukku begitu aku muncul di pintu rumahnya. Seperti biasa, dia akan mengomeliku dulu karena hilang kontak sampai Sabtu sore. Seperti biasa juga, aku yang duluan minta maaf. Padahal aku berharap dia yang muncul di pintu apartemenku duluan.

"Babe, kamu udah makan? Mami ngajakin makan malam bareng hari ini."

"Yah, tapi aku nggak dandan sama sekali!" protesku, karena aku datang ke rumah Indra hanya untuk minta maaf dan berniat tak berlama-lama.

"Yaudah sih, santai aja, kayak baru ketemu Mami aja kamu." Indra mengecek arlojinya. "Nanti kita berangkat setengah jam lagi ya, di restoran kesayangan Mami. Oh ya, sambil nunggu, kamu mau aku buatin apa? Kopi?"

"Ndra, aku pulang dulu deh ya, nanti nyusul," rengekku, menarik lengan kemeja Indra. "Kita mau makan di luar, kan? Masa aku cuma pakai blus santai gini sih! Nggak cocok!"

Indra menghela napas panjang. "Babe, kamu tuh cantik apa adanya. Nggak usah dandan juga Mami masih ngenalin kamu, kok! Udah jangan ributin hal kecil, ya?"

Rooftop Secret [TAMAT]Where stories live. Discover now