Prolog

212K 7.8K 480
                                    

Mayang menghela nafas panjang berharap rasa sesak di dadanya hilang, setidaknya berkurang sedikit. Namun, hal itu tidak juga berhasil. Tetap saja ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya, berat dan sesak.

Pagi ini dia bangun kesiangan. Bukan hanya sekali ini saja. Kebiasaan tidur lagi selepas subuh masih melekat sejak dia tinggal di kos sendiri, tentu saat masih merantau dulu dia masih bisa santai dan bebas. Namun, tidak dengan sekarang. Setelah meraih gelarnya di kota, kini Mayang kembali ke kampungnya yang tak lain di daerah kaki gunung lawu.

Sebagai anak perempuan pertama sudah menjadi tanggung jawab Mayang untuk mengangkat derajat kedua orang tuanya. Ingin hati Mayang setelah lulus kuliah untuk merantau kerja di kota, namun keadaan ibunya yang sakit menjadikan Mayang tidak tega untuk tidak memenuhi keinginan sang ibu, agar dia mencari pekerjaan di dekat daerah mereka saja.

"Bocah prawan yah mene durung metu kamar, arep dadi opo? Ora ngerti wong tua polah e koyok ngene angger esok? Prawan kok wegah-wegahan! (Anak perawan jam segini belum keluar kamar, mau jadi apa? Nggak lihat orang tua tingkahnya seperti ini setiap pagi? Perawan kok malas-malasan!)"

Kalimat itu menjadi alarm tetap untuk Mayang setiap paginya. Biasanya orang tua yang paling suka mengomel adalah seorang ibu, namun berbeda jika di rumah Mayang, Bapaknya lah yang sering mengomel jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan hati atau keinginan beliau.

Suwarno, Bapak Mayang orang yang terbilang sangat disiplin. Bahkan, sebagai ketua RT beliau dikenal menjadi RT yang paling tertib dan teladan di desa mereka. Kadang Mayang heran, bagaimana bisa warga setempat kuat punya Bapak RT yang galaknya seperti Pak Warno, punya pikiran seperti itu seolah Mayang tidak sadar kalau Pak Warno itu bapaknya sendiri.

"Nah, ini dia tuan putrinya sudah bangun." Gumam Ari, adik laki-laki Mayang yang berjarak umur hanya dua tahun dengan Mayang.

"Panas telingaku pagi-pagi udah dengar petasan." Jawab Mayang dengan berbisik membuat Ari terkekeh. Ari sendiri sudah paham akan perasaan mbaknya, namun dia pun tidak bisa berkata apa-apa karena memang sudah watak bapaknya juga seperti itu.

"Sabar. Emang sudah wataknya bapak seperti itu, sana ndang cuci baju. Keburu paduka raja ngomel lagi." Ujar Ari lalu mencium tangan Mayang dengan khidmat berpamitan untuk berangkat kerja.

Mayang melihat adiknya berangkat kerja pun hanya bisa menghela nafas, terkadang dia iri dengan Ari yang bisa menentukan pilihannya sendiri. Seperti memilih sekolah kejuruan dan bekerja setelah lulus sekolah, tanpa harus kuliah. Berbeda dengannya yang menjadi pelaku untuk menjalankan segala keinginan bapaknya. Semua hal diatur oleh Pak Warno, tanpa memikirkan keinginan putrinya.

"Huh, mungkin nanti suami juga bakal dipilihin Bapak. Jadi nggak ada salahnya kemarin aku putusin pacarku. Toh, kalau aku kenalin ke bapak juga belum tentu diterima."

oOo

Memutuskan untuk kembali ke kampung halaman sudah menjadi keputusan yang tepat untuk Damar. Setelah hampir dua puluh tahun tinggal di kota membuat Damar sadar, bahkan jati dirinya tetaplah di desa.

Sudah dua bulan ini, Damar menekuni pekerjaan barunya. Membuka usaha bengkel motor dan mobil sederhana di gudang bekas milik orang tuanya. Selain keahliannya di bidang otomotif, Damar juga harus meneruskan perkebunan milik bapaknya yang kini sudah sakit-sakitan. Tiga tahun menduda belum juga membuat Damar berpikiran untuk kembali membuka hati untuk penghuni baru.

Fokusnya kini untuk memulai usaha baru juga memenuhi keinginan orang tuanya yang kini sudah tua. Beruntung, Kirana sang putri yang berumur tujuh tahun itu ikut dengannya. Sehingga, Damar tidak lagi kesusahan jika rindu ingin bertemu sang putri.

"Ayah, boleh aku ikut Ayah kerja?" Suara gadis kecil itu menyadarkan lamunan Damar yang sedang duduk di teras rumah.

Dipandangi tubuh berisi putrinya, Damar mengulas senyum sejak tinggal di kampung berat badan Kiran bertambah lantaran di sini dia merasa bahagia, adanya keluarga besar Damar yang menyayangi dan memperhatikan Kiran menjadikan gadis itu betah tinggal di kampung halaman sang ayah.

Dielus rambut Kiran dengan lembut, sembari berkata, "Ayah kan kerja, Nak. Kalau Ayah kerja nanti Kiran di sana bosan."

"Nggak papa, kan bisa main iPad."

"Hm, sepertinya Kiran lupa sama perjanjian kita."

Anak perempuan itu cemberut, lantaran perjanjian yang telah disepakatinya dengan sang Ayah sebelumnya.

"Tapi-"

"Kan udah sepakat, nggak main iPad kalau Kiran belum bantu uti dan belajar. Emang hari ini Kiran udah bantu uti apa?" Tanya Damar dengan lembut, dan dijawab gelengan kepala oleh Kirana.

"Tapi mau ikut Ayah." Kata Kiran dengan memasang wajah melasnya, berharap membuat hati sang ayah luluh.

Damar hanya bisa menghela nafas, dia paling tidak tega kalau melihat putrinya sedih. Sepertinya tidak ada salahnya jika dia menuruti keinginan Kirana untuk kali ini, lagi pula keinginan Kirana bukan lah hal yang sulit.

"Baiklah, Kirana ikut ayah. Tapi janji, tidak boleh merengek kalau ayah lagi kerja."

Senyum lebar terukir di bibir Kirana, anak itu mengangguk berkali-kali menyetujui apa yang dikatakan ayahnya.

Hari itu menjadi hari dimana semua akan bermula. Dari awal.

oOo

Duda series kembali menyapa kalian.

Bagaimana dengan pembukaan ini? Akankah Mas Damar tipe duda yang kaku seperti Ayah Hafiz, atau semeshoom Ayah Darsa dan Ayah Galih?🙈

Yuk kasih komentar.

Jangan lupa vote dan komen😚

Nikahi Aku, Mas! Where stories live. Discover now