43. Balas Dendam

57.4K 6.6K 436
                                    

Dering telepon Mayang kembali terdengar disaat wanita itu masih duduk di kursi salon dan menunggu rambutnya dirapikan usai dipotong beberapa menit yang lalu.

Tampilan panggilan telepon dari sang suami untuk kedua kalinya, hal itu membuat Mayang gugup dan gelisah. Terlebih ini kali pertama meninggalkan sang putra yang sudah berumur lebih dari selapan hari.

"Iya, Mas?"

"Masih lama?"

"Nggak, sebentar lagi selesai kok. Ini si kakak juga udah selesai," jawab Mayang sembari melirik Kirana yang sudah selesai dengan penampilan rambut yang baru, "kenapa? Krishna nangis ya?"

"Iya. Langsung pulang."

Begitu mendengar suara tegas sang suami semakin membuat Mayang tidak tenang. Buru-buru dia meminta pegawai salon untuk menyelesaikan pekerjaannya. Mayang tidak peduli dengan hasil potongan rambutnya, yang terpenting sekarang hanya segera pulang dan menyusui anaknya yang sudah ditinggal sejam yang lalu.

"Dikit lagi deh, Mbak. Ini bagian poninya belum tak rapiin." Ucap pegawai salon merasa belum sepenuhnya puas dengan hasil pekerjaannya.

Mayang menatap pantulan cermin dan menyisir rambutnya yang terlebih berbeda, malah kelihatan lebih fresh dari sebelumnya. Wanita itu sudah merasa puas, walaupun mungkin jika dirapikan lagi akan semakin puas dengan hasilnya. Namun, karena perasaan si ibu baru itu tidak tenang maka tidak ada waktu lagi untuk membenahi tampilannya.

"Udah, Mbak. Gini aja gapapa, anakku udah nangis di rumah."

Usai membayar dan berpamitan dengan pihak salon, Mayang segera mengajak sang putri pulang ke rumah sang mertua. Karena sebelumnya, Mayang sudah menitipkan Krishna pada ibu mertuanya, juga Damar yang hari ini full mengurus panen dan pengiriman sayuran dari gudang rumah Pak Tejo.

"Kakak beli bonekanya nanti sore aja ya? Soalnya adik udah nangis." Ucap Mayang sembari memakaikan helm pada Kirana. Mengingat pagi tadi dia sudah berjanji untuk membelikan Kirana boneka boba yang diinginkan beberapa hari ini.

Mendengar ucapan sang bunda, seketika membuat Kirana cemberut. Gadis kecil itu menatap Mayang tak setuju, ada rasa kecewa dalam hatinya.

"Jangan gitu dong, kak," kata Mayang lirih begitu melihat ekspresi wajah sang putri, "bunda janji, nanti sore kita beli bareng ayah juga. Bunda minta maaf ya? Adik nangis sayang, nggak mau nenen dari botol."

Kirana mendengus kasar, masih dengan wajah cemberut dia mengangguk kepala. Tak pikir lama, Mayang pun berterima kasih dan mengendarai motornya di tengah terik panas siang ini.

oOo

"Damar itu nyapo to, Nduk? Dari pagi tadi kok wajahnya nggak kepenak di pandang. Kurang sajen opo ya?"

Wanita yang tengah menyusui putranya itu pun mengalihkan pandangannya pada sang mertua. Dia sedikit meringis, membenarkan apa yang dikatakan mertuanya.

Sejak kejadian subuh tadi, mood Damar sungguh berantakan. Bahkan, hingga siang hari ini laki-laki itu masih memasang mode cuek padanya. Terlebih saat meneleponnya tadi, sudah terdengar dengan jelas bahwa mood laki-laki itu belum sepenuhnya membaik.

"Efek puasa kayake buk, dari tadi alisnya mengkerut aja. Opo ya ndak pusing itu kepalanya." Sahut Ratih yang juga ikut bergabung dengan ipar dan ibunya.

Mayang pun hanya mengulas senyum tipis, jujur saja malu jika pembahasan mulai masuk ke dalam dapur peranjangan.

Melihat Krishna sudah terlelap dalam pelukan sang bunda, Bu Tejo pun beranjak pamit untuk menyiapkan suguhan para pekerjanya di gudang.

Nikahi Aku, Mas! Where stories live. Discover now