3. Mayang ... Saya suka mereka

76.8K 7.3K 877
                                    

Keesokan harinya Mayang terbangun lebih awal karena merasa tidak nyaman pada area tubuh bagian bawahnya. Disaat menstruasi seperti ini, bisa dibilang Mayang lebih rajin dari biasanya. Seperti mandi pagi dan menyelesaikan pekerjaan rumah lebih awal.

"Kok masih aja tembus. Ck, jadi nyuci seprei nih." Gumam Mayang begitu melihat bercak darah di tempat tidurnya.

Selesai mandi dan merendam cucian hari ini, Mayang menghampiri ibunya yang sudah berada di dapur. Keadaan ibu Mayang semakin membaik. Kini Mayang bisa tersenyum lega melihat ibunya sudah bisa beraktivitas seperti biasa.

"Hari ini masak apa ya, Bu? Biar Mayang yang belanja."

"Ada daun sama bunga pepaya itu, kemarin bapak ambil dari kebun. Ditumis aja. Nggak usah belanja, lagian masih punya tempe juga." Ujar Bu Tini.

"Ya sudah, Mayang mau nyapu depan dulu."

Ternyata di teras rumah masih ada bapaknya yang duduk sembari menyeruput kopi, sebelum nantinya berangkat kerja sebagai satpam salah satu hotel di daerah mereka.

"Nah, gini kan enak dilihatnya, anak wedhok bangun pagi langsung pegang pekerjaan rumah. Biar rejekinya juga nggak dipatok ayam dan segera dapat pekerjaan." Puji Pak Warno begitu melihat putri sulungnya mulai menyapu halaman rumah yang bisa dibilang cukup luas.

"Bapak kok belum berangkat?" Tanya Mayang tak menanggapi sindiran dari bapaknya, ya Mayang menganggap itu tadi sebagai sindiran, bukan pujian.

"Nanti nunggu pak RW, mau ambil buku kas RT."

Suasana kembali hening, interaksi mereka memang tidak begitu intens. Pak Warno tipikal orang yang mudah terpancing emosi dan keras. Sehingga Mayang pun sebisa mungkin menyaring apa yang dapat dia sampaikan dan bicarakan sama bapaknya. Karena Mayang paling tidak bisa menahan diri jika bapaknya sedang emosi dan membentak. Ya walaupun seperti itu, Pak Warno tetap berusaha memenuhi apa yang dibutuhkan anak-anaknya.

"Sudah ada kabar lowongan pekerjaan, Nduk?"

Mayang menghentikan gerakan tangannya dan menatap Pak Warno sekilas, lalu menjawab, "belum Pak, kalau pun sudah Mayang pasti bilang ke Bapak."

"Ya ngabdi-ngabdi dulu gapapa. Siapa tau rejekimu nanti keterima CPNS, ya bisa bantu-bantu Bapak kuliahin adikmu."

Lagi-lagi Pak Warno menggantung sebuah harapan besar padanya. Hal ini yang membuat Mayang semakin tertekan, bahkan sampai saat ini pun dia belum juga mendapat panggilan atas surat lamaran yang dia sebar.

"Meskipun bapak ndak bisa jadi guru seperti yang diinginkan mbah kungmu, setidaknya anak bapak bisa jadi guru seperti almarhum mbah kung." Tambah Pak Warno membuat Mayang menghela nafasnya.

"Pak, walaupun bapak nggak jadi guru tapi bapak itu sudah menjadi guru untuk Mayang, Arik dan Riska. Ya kalau pun nantinya Mayang nggak bisa jadi guru yang ngajar di sekolah, setidaknya Mayang bisa jadi guru untuk anak Mayang sendiri."

"Jadi maksudnya kamu mau jadi ibu rumah tangga?"

Pertanyaan itu belum sempat Mayang jawab karena kedatangan Pak RW yang sudah dinanti Pak Warno sejak tadi. Mayang pun bergegas masuk rumah setelah menyelesaikan pekerjaannya.

"Mau bekal sama apa, Ris? Hari ini ada ekstra nggak?" Tanya Mayang pada Riska, adik bungsunya yang baru menginjak sekolah menengah atas.

"Nggak Mbak, hari ini pulang seperti biasa. Nggak usah bekal deh, aku udah kesiangan ada senam pagi."

"Ya udah, hati-hati berangkatnya." Balas Mayang sembari melihat adiknya yang berangkat sekolah, seketika dia teringat akan perkataan bapaknya.

"Apa aku bisa? Biaya kuliah itu tidak sedikit, sementara sampai saat ini saja aku belum mendapat pekerjaan."

Nikahi Aku, Mas! Where stories live. Discover now