1. Sekali Ini

23.4K 1K 44
                                    

“Ngulek, Minah! Ngulek! Bukan numbuk!”

Elise menarik napas sebelum menghaluskan gerakan tanganya yang kelewat bar-bar beberapa menit lalu. Ya, dia sengaja menumbuk kuat bawang dalam ulekan hingga suaranya menggema hingga ke ruangan depan dan menarik perhatian Bude Elise yang sedang sibuk membersihkan sayur di luar.

Semalam Ibunya sudah membagi tugas, bagiannya adalah membersihkan rumah. Sayangnya, pagi ini Ester adik Elise yang seharusnya berada di sini sekarang mengilang secara goib.

Membantu pekerjaan dapur memang jarang Elise lakukan. Sebenarnya dia juga tidak keberatan dengan hal ini, hanya saja jika harus mengulek bumbu hingga ia lupa berapa kali, ia menyerah.

Hari ini adalah arisan keluarga besar. Seperti biasa, Ibu Elise akan menyajikan semua masakan terbaiknya. Dan ada satu syarat mutlak untuk itu, tidak ada blender atau alat listrik lainya untuk menghaluskan bumbu. Ulekan adalah benda sakti mandra guna untuk setiap masakan seorang Maria Agnesia, Ibu Elise.

“Tuh, tinggal mangkok terakhir,” kata Bude Elise sambil menunjukkan mangkok kaca hadiah detergen berisi bumbu di atas meja.

“Bude saja lah,” tolak Elise lemas. “Copot ni tangan.”

“Loh, loh kok gitu,” decak sang Bude, “kamu iku 25 loh, Lis. Sebentar lagi menikah. Ngulek pekerjaan dasar. Mau dikasih makan apa nanti suamimu kalau ngulek aja ngeluh.”

“Dikasih makan cinta, Bude,” jawab  Elise sambil memindahkan bumbu ulekannya ke mangkok. “Atau paling gampang, yaaa nyari suami yang nggak bisa makan.”

Sang bude mendesis menanggapi komentar Elise barusan.

Elise hanya mendelik. Setelah semua bumbu berpindah ke mangkok, ia membersihkan ulekan lalu lanjut ke bumbu terakhir … semoga saja terakhir. Ibu dan Budenya ini sama-sama spontan, kalau ada masakan baru yang melintas di kepala mereka, pasti secepatnya dieksekusi.

Pertama-pertama, Elise menghaluskan lada dan ketumbar lalu kunyit. Setelahnya, dia meraih pisau hendak memotong bawang agar lebih mudah diulek tanpa membuat Bude-nya menyuarakan teguran lain dan memanggilnya Minah lagi. Minah itu nama dari lagu kesukaan sang Ayah, "Hancur Minah."

Tepukan keras menghantam bahu Elise, sontak dia berdiri dan berbalik menghadap orang iseng kurang kerjaan yang mengganggu. Lucas, kakak sulung Elise seorang tentara angkatan laut berdiri dengan kedua tangan terangkat.

Elise memperhatikan tatapan mata Lucas. “Damn it!” umpatnya. Ia tidak sadar sedang mengacungkan pisau ke wajah sang Kakak.

Tinggi badan mereka berdua berbeda, Elise hanya sampai dada Lucas. Ada perbedaan lain di antara mereka yang membuat orang menganggap mereka bukan saudara kandung. Lucas tinggi berbadan tegap, kulit cokelat eksotis, hidung mancung sempurna, rambutnya tebal dan mudah tumbuh. Sedangkan Elise, pendek, kulit kuning langsat, hidung seadanya, rambut kusut tipis mengembang.

“Ini pisau loh,” kata Lucas dengan mata membelalak. “Aku tahu kamu kesepian tanpa pasangan, tapi jangan gini juga dong.”

“Kalau bukan tentara lu …,” desis Elise kesal, seenaknya saja abangnya berbicara.

“Bude, aku ada rencana,” ucap Lucas sembari menarik kursi dan duduk di sebelah Elise. “Bagaimana kalau kita jodohkan Elise dengan temanku. Suprapto, duda kaya.”

“Selagi orang baik, yo ngak apa-apa toh,” sahut wanita paru baya yang sibuk membersihkan satu ikan besar di atas wastafel.

Elise menekan kuat ulekan. Dia memang jomblo sejati, tapi demi apa pun dia tidak sudi dijodohkan dengan duda, apa lagi dengan nama seperti itu. Knock the wood.

“Orangnya baik, Bude. Rajin ibadahnya. Apa kita antarin aja dia ….”

“Jadiin suami kedua istrimmu aja noh!” umpat Elise naik pitam.

Lucas kembali melotot ke arah Elise.

“Demi Tuhan,” teriak Bude Elise. “Lucas, coba kamu telepon Romo David.”

“Mau ngapain?” tantang Elise tak mau kalah, “Exorcist? Apa aku mau ngadain acara permandian ulang buat ganti nama?”

Lucas langsung memeluk sang adik. “Maaf deh, bercanda,” katanya pelan.

Elise hanya mengembuskan napas tanpa menjawab. Omongan mereka sulit dipercaya.

“Elise,” bujuk Lucas lebih pelan lagi, “janji nggak bakalan godain kamu lagi.”

“Janji aja terus ….”

“Ikannya sudah siap, Kak?” Ibu Elise muncul dari balik pintu dapur. sedari tadi dia berada di luar menyiapkan arang batok kelapa untuk memanggang ikan.

“Sudah.” Wanita dalam balutan kebaya jadul itu mengangkat ikan dan menyambar bumbu di meja, jelas-jelas dia menghindari tatapan Elise.

Elise merentangkan kedua tanganya, akhirnya dia bebas juga. Setelah ini, dia baru akan mandi. Tubuhnya sudah tak nyaman. Rencana awalnya dia bangun pagi langsung membersihkan rumah setelahnya dia akan diam dalam damai di kamar.

“El, Ibu minta tolong dong,” pinta Ibu Elise.

“Apa lagi?” Kelegaan barusan nampaknya tertelan kembali.

“Antarin rendang ke Tante Ana dong.”

“Ester?”

“Kan tadi ke rumah Meri bantuin acara ulang tahunnya.”

“Deo?”

“Lagi mandi, kamu kan tahu mandinya lama.”

“Kak ….”  Mata Elise mengarah pada Lucas. Sontak sang Kakak berdiri. “Udah jam berapa sekarang? Aku mau ngejemput Stephen dari sekolah minggu.”

“Tapi ini ke rumah Tante Ana loh, Mah,” ucap Elise. Ia sengaja menekan nama tetangganya itu. ia berharap ibunya ingat jika rumah sebelah itu adalah tempat yang tidak akan dia masuki kapan pun dalam keadaan apa pun.

“Sekali ini saja,” bujuk sang Ibu. “Nanti keburu dingin. Apa lagi Mama udah janji sama Tante Ana.”

“Mama bisa sendiri ….”

“Masih banyak yang harus dikerjain,” potong Ibu Elise cepat.

“Enggak!” ucap Elise tegas.

“Ethan nggak ada di rumah. Udah jam segini pasti ada di resto.”

Ethan adalah trauma masa lalu Elise. Setahu keluarganya. Elise dulu menyukai Ethan tapi perasaannya tidak terbalas. Namun, ada luka yang lebih dari itu, luka yang hanya dia simpan sendiri, sebab ia tidak mau hubungan baik antara dua tetangga yang sudah akrab seperti keluarga ini pecah. Tante Ana dan Om Matias juga sangat dekat dengan Elise, sebelum kepulangan Ethan dari Jepang tiga tahun lalu, ia masih sering main ke sana, membantu Tante Ana untuk apa pun, tapi setelahnya, ia lebih suka mengurung diri di kamar dan bersumpah tidak akan ke sana lagi.

“Sekali ini aja,” bujuk Ibunya lagi.

“Ya udah.” Elise mengalah, ya sudah untuk sekali ini saja. 












Love Back TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang