Sama Saja

5.9K 495 11
                                    

"Another day in paradise!" Elise mengempaskan tubuhnya di kasur. Hasil revisi sudah dikirim kembali ke penerbit setelah tiga hari bekerja serius. Baik Ester mau pun Jojo telah mengibarkan bendera putih, tidak akan pernah menjebaknya lagi.

Sabtu penuh ketenangan, saatnya kembali memanjakan diri, menggunakan masker wajah atau sekadar luluran. Elise melakukan itu sebagai apresiasi terhadap dirinya sendiri. Ajaran yang diwejangkan oleh Ayahnya. Berhasil atau gagal dalam melakukan sesuatu harus tetap memberikan penghargaan untuk diri sendiri.

Mata Elise terpejam, merasakan kehangatan kasur. Kepalanya membuat pilihan terbaik apa yang bisa dia lakukan dan apa yang harus diabaikan. Sortiran itu membuang jauh menonton film, demi kesehatan mata. Tiga hari tanpa henti beradu tatap dengan layar monitor sudah lebih dari cukup.

Ketukan lembut mengalun dari pintu diikuti teriakan Deo, "Ellsavador, are you done?"

"Yeah!" balas Elise dengan mata terpejam.

"Would you mind to open the door, Dear?"

Dear? Mata Elise membuka lebar. Nama panggilan Deo tidak pernah semanis itu, biasanya ya mengikuti sang Ayah, Minah, kepala batu, lilliput, Thumbelina, Gnome dan nama-nama yang mendadak melintas di kepalanya. Ada sesuatu.

"A sec, please!" Elise mengangkat kakinya ke udara, sekali entakkan dia duduk. Rasanya pintu berada ratusan kilo jauh di depan. Sembari merenggangkan tubuh, dia memutar gagang pintu dan the time is stop. Sekarang, dia memerlukan mesin waktu, atau minimal kekuatan super untuk kembali ke beberapa detik yang lalu, sebelum pintu terbuka. Sosok di depannya bukan Deo.

"Nathan," ucap Elise seantusias mungkin tidak lupa senyuman manis. Tidak ada tanggapan, hanya mata Nathan yang seolah membeku. Awkward moment again.

"Is there anything I can do to help?" Elise sengaja memperpanjang kalimatnya guna mendapatkan reaksi. Nothing.

Elise membasahi bibir sekilas, rasanya seperti orang tolol. Pria di depannya memakai pakaian rapi, kemeja putih, celana hitam dan coat hitam panjang, berbanding terbalik dengan dirinya, kaos putih kedodoran, celana abu-abu pendek selutut dan jangan lupakan rambutnya yang mengembang ke empat arah mata angin.

"Kamar Deo di situ!" Jari telunjuk Elise mengarah ke pintu di belakang Nathan. Sekarang, apa lagi yang bisa dia lakukan? All the world like jump out from her brain, there is nothing left.

Nathan masih menatapnya.

Barang kali permainan adu tatap, like when they were a kid, batin Elise. Dia membuka mata, membalas tatapan Nathan sesaat lalu menggerakkan bola mata ke kiri dan kanan cepat.

Nathan mendekatkan diri lalu meraih tubuh Elise, membawanya dalam pelukan. Aroma pewangi pakaian dan samar tipis parfum membaui penciuman Elise, karena terkejut kedua tangan tertekuk ke atas menubruk dada pria di depannya.

"I miss you Ell, so much!" bisik Nathan pelan.

"Already gone, right?" Elise menarik diri, memundurkan kaki satu langkah, hingga jarak tercipta. Kejadian barusan mengusik memori, meluap-luap bak air mendidih, she can't handle it.

Nathan menggeleng. "Sorry, waktu di Bandara ...."

"Lupakan!" potong Elise cepat, dia sendiri tidak ingin mendengarkan hal itu.

"Kamu nggak pernah berubah, Ell." Nathan menghela napas, matanya berkilau. "Tapi biarin aku selesaiin ucapan aku dulu."

"Aku udah lupa, jadi nggak usah dibahas. Hanya itu kan?"

"Kamu ngusir aku?"

Elise menepuk jidat dan menggeleng.

"Can we talk?"

Love Back TAMATWhere stories live. Discover now