Ok, Friend

4.9K 474 0
                                    


“Karin pengen aku tetap ada di samping dia sampai dia terbiasa kehilangan aku,” tutur Nathan.

“Aku nggak harus dengarin itu kan? Lagian, mau bagaimana pun juga semua udah kejadian.” Elise memainkan sedotan minuman di pangkuan.

“Makanya aku minta maaf.” Nathan menghela napas. “Aku pengen kita balik kaya dulu, El. Waktu kita masih kecil.”

Elise menekan keras sedotan hingga Sebagian minuman terpercik keluar, membasahi rok. Bahunya terangkat. “Nathan, memori aja yang bisa balik ke masa lalu. Soal keadaan kita sekarang, udah nggak bisa dipaksain lagi.”

“Aku nggak ngomongin kita sewaktu pacaran, El!”

Elise menoleh ke luar jendela, menarik udara sebanyak yang dia bisa. “Aku juga nggak ngebahas itu.  Kenyataannya sekarang kamu punya kehidupan kamu sendiri. Aku juga mau kita sahabatan kaya dulu, hanya saja …. Please, Nathan, gerbang yang tertutup lama nggak bisa dibuka dalam satu entakkan.”

“Kamu ….”

“Ini bukan tentang aku! Aku nerima ketika kalian datang, tapi aku juga nerima hal lain!” sekonyong-konyong pikiran Elise menjadi kosong, lalu lintas pikiran macet sedang dada makin sesak.

Nathan tidak berbicara, matanya kembali lurus ke jalanan.

“Sorry,” ucap Elise sembari melepaskan kaca mata. Bendungan di area mata akhirnya hancur lebur. “Aku udah nggak tahu lagi harus gimana setelah semua kesialan yang datang sama aku.”

“Semua salah aku, El. Soal kamu sama Bang Ethan juga, kalau aja malam itu aku bisa nolak Karin ….”

“Please stop!” Elise menyeka air matanya menggunakan lengan baju berulang kali. Namun, netra menolak berhenti.  Beruntung, kedua rumah mereka sudah terlihat. “Salah aku juga, kok nggak hati-hati. Oh ya gimana keadaan tangan Bang Ethan.” Dia tidak ingin bertanya, hanya saja tanggung jawab belum usai di sini.

“Kata dokter, minggu depan juga udah bisa dilepas kok, cederanya nggak parah. Kamu tahu kan kenapa tangan Bang Ethan diperban?”

“Kejadian malam itu di resto.”

Nathan memiringkan kepalanya ke arah Elis, ujung bibir kiri terangkat dan mata membuka lebar. “No! Itu karena dia tersenggol waktu ngadirin pesta di rumah Keysha. Setelah kejadian di resto, kamu pingsan dan Bang Ethan pergi.”

Jemari Elise tertekuk keras hingga setiap ruas jari menjerit nyeri. Dia tidak pernah berubah dan memang semua kebaikan yang dia lakukan beberapa hari semenjak mereka bertemu lantaran dia membutuhkan orang bodoh untuk diperdaya.

Nathan menepuk kepala Elise, pelan. “Jangan pernah salahin diri kamu lagi atas apa yang menimpa Bang Ethan.”

Elise mengangguk dan memaksakan bibir tersenyum. Mobil akhirnya menepi dan berhenti.
“Makasi tumpangannya!”

“Anytime,” balas Nathan sembari tersenyum. “Kamu nggak bakalan ngindarin aku lagi ikan? Can we be friend again?”

Elise mengangguk kaku. “Tapi aku nggak mau ke mana-mana.”

Nathan mengangguk, bibirnya terkulum sesaat. “Ok!”

Jojo dan Ester berada di halaman depan saat Elise keluar dari mobil, mereka sibuk menyirami tanaman. Aroma tanah basah, dan ketengan senja membuatnya sedikit lebih baik.

Sapaan riang keluar dari mulut Jojo dan Ester, benar saja mereka mengharapkan sesuatu dari Elise saat dia tiba. Dia melirik parkiran ada mobil calon Kakak Iparnya.

“Mereka lagi ngobrolin dekorasi sama menu masakan buat acar tunangan nanti. Ada Ayah dan Ibu Kak Jesica juga di dalam,” terang Ester. “Makanya kita disuruh keluar, katanya bukan urusan anak kecil.”

“Kak El, masuk sana! Kan udah gede,” sosor Jojo.

Deo masih tidak menginginkan  kehadirannya. “Aku bantu kalian aja, lagian ke dalam buat apa?”

“Yau dah nih!” Jojo menyerahkan selang air. “Di bagian samping belum disiram, kita ke warung Bu Tiara, beli es krim.”

Kaki Elise bergerak, saat itu juga dia kehilangan keseimbangan, melayang tidak karuan sebelum tercebur ke dalam genangan lumpur.  “Bloody hell,” keluhnya.

Tawa Ester dan Jojo meledak, mirip komplotan ibu-ibu yang heboh menggosip, pada hal hanya berdua.

“Bukannya batuin!” Elise berusaha bangun, Dia melepaskan sepatu dan melemparkannya ke teras.

“Udah balik toj, Minah.” Ayahnya berdiri di ambang pintu, jelas-jelas raut wajah pria paruh baya itu menahan senyuman.

Elise hanya melepaskan napas kasar. Pakainya bagian kanan berlepotan lumpur semua, hingga ke dagu.

“Mandi sana!” usir Ayahnya,

“Iya!” Elise bangkit dan berjalan pincang siap memutari rumah menuju pintu belakang.

“Jangan lewat depan please, aku baru aja ngepel, Kak El,” renggek Jojo dipaksakan.

Elise menatap saudara sepupunya garang. Namun, dia tidak mungkin menemui orang tua Kakak Iparnya dengan penampilan begini.

“Ayah ngapain keluar?” tanya Ester.

“Tawa kalian berdua tuh, heboh banget.”

“Kak Ell, Pah.” Ester membungkuk memegangi perut.

Elise hanya bisa menggigit bibir dan melayangkan pukulan jarak jauh.

Pintu dapur terbuka, aroma masakan sang ibu membaui udara. Elise mempercepat langkah kaki. Diambang pintu, kaki membatu.  Ethan dan Ibunya ada di dalam, bercakap.

“Udah balik, El,” sapa Ibunya diikuti senyuman. Tak lama, setelah matanya menelusuri penampilan Elise, dia membelalak.

Elise mengangguk, dia menjauhkan diri dari jangkauan tatapan Ethan. Tubuhnya bergetar hebat, bukan, ini bukan marah, melainkan ketakutan yang tidak bisa dia kendalikan. Ketika kembali melangkah, debar jantung makin kuat memompa, dan saluran pernapasan seolah dipenuhi pasir, sesak sekali. Telinganya mendadak mengabaikan suara dan dunia berputar seperti baling-baling kertas.  Setelah bersusah payah, Elise mencapai pintu kamar mandi di bagian belakang, dia membanting pintu dan lengser ke lantai.

“What’s wrong with me?” Elise menarik kerah bajunya dengan tangan bergetar. Air mata mengaliri wajah lagi. “Perasaan ap aini, Tuhan?”

















Love Back TAMATDonde viven las historias. Descúbrelo ahora