Run

5.1K 500 0
                                    

Terjaga di ruangan klinik, kepalanya masih dipenuhi rasa bersalah menghancurkan acara pertunangan Deo. Rasa itu merayap bak ulat memenuhi kepala, bergerek dari satu tempat ke tempat lain, sangat menyiksa. Masih dalam balutan kebaya biru dan rok batik panjang, kedua telapak tangan dibalut perban menyisakan jemari. Bagian belakang leher juga dalam keadaan ditempeli perban.

Tidak ada orang lain di ruangan begitu dia bangun. Keadaan itu menjadi penyelamat dari tanya yang jelas akan menyerang saat matanya membuka
.
Pintu ruangannya membuka. Ayahnya masuk.

Elise mengenali rupa itu, mata tidak berkedip, rahang mengeras dan wajah kaku. Kali ini, tidak akan nada maaf untuk dirinya sama sekali.

“Merasa baikan?” kalimat itu tidak terdengar hangat.

Elise hanya mengangguk, tubuhnya bergetar lagi, rasa bersalah dan takut dibenci oleh orang yang dia cintai mencambuk. Berapa banyak lagi air mata akan tumpah. Ayahnya menari kursi, duduk tanpa kata.

“Aku nggak ada niatan buat ngehancurin pertuangan Bang Deo, Pah,” kalimat Elise meluncur bersama pecahnya bendungan di pelupuk mata. “Aku … bakalan ngerti semua gelas dan minuman yang terbuang sia-sia karena aku!”

“El!” Ayahnya menoleh padanya, meletakan tangan di atas kepala Elise, “Ayah nggak mikirin itu, Ayah mikirin kamu. Kamu terluka.”

Elise menggeleng. “Pah, luka di tubuh aku bisa sembuh tapi … Bang Deo? Aku ngabaiin Kak Jesica aja dia marah, apa lagi aku ngancurin mala mini.”

“Kamu nggak ngelakuin itu!” bantah Ayahnya tegas.

Leher Elise melakukan Gerakan penolakan lagi. Deo sudah mencercanya sekali dan kali ini dia tidak bisa menghadapi kemurkaan itu.

“Aku bakalan ninggalin rumah!”

“Apa?” Sang Ayah membelalak. “Lari bukan penyelesaian. Balik terus minta maaf sama Abangmu!”

“Nggak bisa, Pah!”

“El! Ini keputusan Ayah! Kamu harus nurut!”

Raut wajah Deo yang tertangkap mata Elise sebelum dia kehilangan kesadaran adalah angkara murka menempel.

“Elise mohon, Pa!”

“Pokoknya tidak!” Ayahnya berdiri.  “Ayah balik ke tempat Deo dulu. Nanti Ayah jemput, istirahat saja dulu!”

Elise mengangguk, dalam hati dia Menyusun rencana untuk menjauh dari rumah.

“Kayle!” Nama itu terlintas.

Elise meraih tasnya, memesan taxi online, pulang ke rumah.

Dokter pemilik klinik sempat mencegat, dia memilih tidak peduli dan terus berjalan ke luar. Beruntung posisi Taxi di dekat situ jadi dia tidak lama menunggu.

Dalam perjalanan, dia menghubungi nomor Kayle.
“Tawaran buat nulis buku itu masih berlaku kan?” tanyanya tanpa sapaan atau basa-basi.

“Yap,” suara teduh dari seberang. “Gimana? Udah kamu pikirin?”

“Aku mau! Kata Ayah kamu aku bisa pergi kapa pun kan? Bisa jemput aku sekarang?”

“Ini udah udah malam, Elis!” Sedikit lonjakan pada nada suara Kayle. “Besok pagi-pagi banget deh, aku janji!”

“Kayle, please!” mohon Elise. Sekarang, harapannya ada pada pria itu.

Tidak ada tanggapan. “Ok! Nggak apa-apa besok aja!” Elise menurunkan ponsel  siap menekan tombol merah.

“Alamat kamu masih sama kan?”

“Iya.”

“Lima belas menit lagi aku sampai!”

Simpul erat pengikat dada melonggar. Bahu Elise turun serentak. It’s not right, Elise! It’s big mistake! Nurani berbisik pilu.

Tiba di rumah, Elise buru-buru memasukkan pakaian ke dalam koper. Lalu perlengkapan lain ke dalam tas. Tanpa mengganti pakaian, dia turun ke bawah menanti di halaman.

Please think again! Kembali nurani berbicara.

“Shut up!” Elise menekan telinga, membungkuk.
Sorot cahaya mobil meneranginya, tak lama Kayle keluar. Begitu mata mereka bertemu, pria itu berlari ke arahnya bahkan tanpa menutup pintu mobil.

“What’s wrong?” tanya Kayle.

“I can’t explain it!” balas Elise serak. Dia hanya ingin pergi, menjauh saja dari rumah tanpa diketahui siapa pun.

“Ya, udah. Aku harus ketemu sama keluarga kamu dulu. Aku harus minta izin sebelum ngebawa kamu pergi.”

“Mereka lagi nggak di rumah.”

“We can’t go! I need permission!”

Bantahan dari Kayle melelehkan tulang-tulangnya hingga dia jatuh terkulai lemas di atas aspal. “Please! Bawa aku pergi! Kalau emang nggak bisa langsung ke tempat kamu, antar ke suatu tempat yang jauh dari sini! Ke rumah Erik! Atau tempat nginap buat mala ini aja!”

Kayle bergerak mondar-mandir di depan Elise. Saat dia mendongak melihat rupa pria itu, keningnya mengerut, mata berkedip berulang kali dan tangan mengacak-acak rambut. You can’t bring someone to drown with you.

Perlahan Elise bangun. “Please forgive me! Lupain aja apa yang aku bilang barusan! Kamu boleh pulang. Thanks for coming!” Elise mnyeka air mata yang masih menganak sungai sembari memaksakan suara tawa.

“Kamu berantakan, El,” ucap Kayle kemudian. “Listen, I don’t know you very well, kamu juga begitu kan?”

“True! Kita hanya orang dari masa lampau. Like I said, forget it.”

“But I belive you trust me!”

Mata Elise mengecil. Apa maksud kalimat barusan.

“Ok. Aku bakalan bawa kamu jauh dari sini, tapi kamu harus janji kamu tetap ngasih tahu keluarga kamu. Jangan sampai mereka kawatir.”

Elise mengangguk. Dia menarik koper siap untuk masuk mobil. Tangan Kayle lebih dahulu mengambil semua barang bawaannya, memasukkannya ke mobil dan membuka pintu mobil mempersilakannya masuk.

Emosi melumpuhkan indra perasanya, begitu kembali bekerja, udara dingin menggigit kulit. Menyembunyikan siksaan hawa beku itu, dia menyilangkan tangan di dada, pura-pura fokus menatap jalanan.

“You need something?” tanya Kayle.

“I’m good!” bohong Elise. Kayle sudah banyak membantu, dia tidak akan  menjadi lebih merepotkan lagi.

“Liar!” desis Kayle. “Tuh ada jaket di belakang kamu, di sandaran.”

Jaket hoodie putih tepat di belakang Elise. Tanpa kata, dia mengambil dan mengenakannya.

“Kamu yakin sama keputusan kamu sekarang?”

Elise mengangguk ragu. Baiknya dia tidak usah memikirkan bagaimana hari esok, karena jelas akan nada kesukarannya sendiri.

Love Back TAMATWhere stories live. Discover now