Shut Up, El

8.5K 679 8
                                    

Elise menyadari, tidak ada suara lain selain dentuman sapu yang menghantam lantai. Dia enggan untuk berdebat dan memilih untuk mengikuti saja kemauan Ethan. Painting on the wall, how hard it can be?

Dia sudah sering melakukannya, hampir setiap tahun. Di kamar Ester, keponakan, sepupu atau café milik anggota keluarga jauh. Dan lagi, dia tidak ingin memperpanjang perdebatan dengan Ethan. Dalam waktu dua jam dia mendapatkan semua informasi yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan.

Pertama kalinya, Elise tidur jam delapan malam, agar bisa bangun lebih pagi besok. Dia menjadikan Deo benang dalam telepon kaleng, menanyakan semua hal yang berhubungan dengan Ethan dan restorannya.  Restoran itu memang benar milik Ethan dan manajernya adalah pacarnya sendiri, Keysha. Elise melakukan konfirmasi pada model busana itu guna memastikan dia tidak sedang dikerjai untuk kali kedua.

Restoran masakan Jepang. Jam masuk karyawan pukul lima pagi, buka untuk umum mulai jam tujuh dan tutup pukul sebelas malam. 

Sesuai permintaannya, Keysha memaparkan rincian lukisan yang mereka inginkan. Elise serius mendengarkan sedangkan tangan membuat sketsa, sampai Jojo sepupunya yang sudah kelas satu SMA melompat keluar, karena terkejut melihat wajah Elise.  Rencananya, besok Elise akan membuat sketsa kasar terlebih dahulu baru setelahnya, melapisinya dengan cat.

Bangun pukul empat pagi, Elise mempersiapkan diri. Dia tidak mau tergesa-gesa apa lagi panik, semua hanya mengacaukan isi kepala. Dinding berukuran tujuh kali lima meter menjadi sasarannya.

Pagi pukul lima, dia sudah berada bersama para karyawan resto. Mereka bingung melihatnya datang dengan tas punggung besar. Setelah menjelaskan kedatangannya pada sang satpam, dia diizinkan masuk.

Dinding yang dicat paling belakang, jauh dari pusat perhatian apa lagi bentukannya terlalu biasa.  Dinding itu bercat abu-abu. Saat dia meraba permukaan cat, kasar dan mengganjal, pasti pernah ada lapisan lain sebelumnya. Dia menanyakan pada waiter, yang sedang menata meja.

“Ini loh, Mbak, dulu dindingnya pernah dilukis gambar hutan bambu, tapi kemudian nggak tahu kenapa sama Mbak Key ditutupi sama cat ini.”

Fuck this shit!” maki Elise pelan, padahal dalam keterangannya dinding ini siap untuk dilukis pada kenyataannya dia harus mulai dari bagian dasar.

Elise meletakan tas dilantai mencari scraper, dia harus mengerok lapisan lama terlebih dahulu, lanjut ke tahap penghalusan dan penambahan cat dasar. Setelah menemukan benda yang dia cari, Elise menoleh melihat deretan meja dan kursi di depannya, bagaimana carannya dia bekerja selagi ada orang makan di sana.

Tanganya meraih ponsel, menghubungi Deo.

“Apa sih, Ell, buyarin mimpi orang aja!” suara Deo masih sangat mengantuk.

“Hubungi teman Lo. Tanya ke dia, aku bisa mulai pagi nggak kerjanya?”

“Iya. Entar bisa ngobrol di meja makan!”

“Aku udah di dalam restoran dia!” potong Elise cepat.

“What?”

Elise menebak apa yang dilakukan sang abang di seberang, bangun langsung berdiri saking terkejutnya mendengar pengakuan dari dia.

Call him! Now!” Elise mematikan panggilan secara sepihak.

“Nggak perlu kali nelpon Deo. Aku udah di sini dari tadi.” Ethan muncul di balik punggung, menggunakan pakaian chef persis seperti kemarin. Elise baru menyadari rambut Ethan panjang hingga bahu.

Tubuh Elise membeku, lancang sekali matanya malah tersihir oleh wajah pria di depannya. She wouldn’t lie about that. Detik berikutnya sadar kalimat tajam Ethan melintas, dia buru-buru beralih ke dinding.

“Bisa kan kamu kerja selagi orang makan?”

Tawa sinis mengalun dari bibir gadis berkaca mata itu. “It’s not about me! Trash, dust or particle from this fucking wall. Tapi kalau ikhlas kehilangan pelanggan, I don’t give a shit!

Ethan mengulurkan tangan menarik ujung bibir kanan Elise gemas. “Language!”

Elise menepis tangan Ethan. Menekan ledakan kebencian di dalam dada. Sekali ini saja, mulut tolong diam, harapnya dalam hati . “So?”

“Bagian ini bakalan dikosongin. Bagian dalam lah, out door sama lantai dua yang difungsiin. Lagian semakin cepat kamu selesai,  aku semakin cepat nggak dengarin mulut tajam sama ngeliat wajah lecek kaya ini.”

“Ok!” rentetan kalimat kejam bin menyakitkan melintas di kepala. Namun, hanya itu yang keluar. Sebagai gantinya, kedua telapak tangan membentuk kepalan. Elise sampai merasakan tekanan kuku pada kulitnya.

“Dua hari cukupkan?”

“Dua hari?" Elise mebelalak. "Semalam Istri Kakak bilang, 'dindingnya siap dilukis.' And what the hell is this?” Elise mengabaikan tatapan tajam Ethan saat menyebut istri.

“Terus mau diapain dulu?” suara Ethan mengecil, senyuman tercipta di ujung bibir.

Cobaan, batin Elise. “Ya harus dikeroki dulu.”

“Dindingnya nggak lagi masuk angin tahu.”

“Ha. Ha. Funny!” komentar sinis melesat lagi dari mulut Elise.

I’m on fire.”

You? Me!” Elise menarik napas, berapa banyak waktu yang terbuang untuk meladeni sang pemilik restoran berbicara?

Can I ….” Jari telunjuk Elise mengarah ke dinding.

“Ok, I give you, my permission!” Ethan meletakan tangan kanan di bahu Elise, lalu membuat Gerakan seperti Ratu yang memberikan gelar kesatria pada seseorang menggunakan pedang.

“Kerjain baik-baik, jangan sampai Pacar aku kecewa. Clear?”

Elise mengangguk. Hari panjang segera dimulai.

Love Back TAMATWhere stories live. Discover now